Bank Hadapi Dua Tantangan Besar pada Paruh Kedua Tahun Ini

Bisnis.com,02 Agt 2022, 15:46 WIB
Penulis: Leo Dwi Jatmiko
Layar menampilkan Pakar Perdagangan Ekonomi Dunia dan Politik Internasional UGM Riza Noer Arfani (kiri atas), Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno (kanan atas), Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Maria Y. Benyamin (kanan bawah), dan Chief Economist BRI/Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata dalam webinar Mid Year Economic Outlook 2022: Prospek Pemulihan Ekonomi Indonesia di Tengah Perubahanan Geopolitik Pascapandemi di Jakarta.

Bisnis.com, JAKARTA — Likuiditas yang semakin ketat hingga potensi penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan menjadi tantangan bagi industri perbankan ke depan. Situasi tersebut harus dihadapi secara hati-hati oleh para bankir. 

Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata mengatakan di tengah tren pertumbuhan kredit, laju dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun justru tumbuh melandai. Hal ini perlu menjadi perhatian perbankan karena pertanda likuiditas mengetat, kendati saat ini masih terbilang cukup.

“Pertumbuhan dana pihak ketiga terus mengalami perlambatan di mana pada Juni 2022 tumbuh sebesar 9,13 persen menurun dari Mei 2022 yang sebesar 9,93 persen yoy,” kata Anton dalam Bisnis Indonesia Mid-Year Economic Outlook 2022, Selasa (2/8/2022).

Selain itu, kata Anton, dengan tingkat inflasi inti yang mulai naik, dan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi. Dia memprediksi bahwa Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.

Sebelumnya Bank Indonesia sudah melakukan normalisasi likuiditasnya melalui kenaikan giro wajib minimum sampai 9 persen pada September 2022 nanti. Kebijakan tersebut akan diikuti dengan kenaikkan suku bunga acuan. 

“Dugaan saya BI akan sangat berhati-hati menaikkan suku bunga acuannya,” kata Anton.

Dia juga mengatakan berdasarkan riset BRI, depresiasi rupiah diperkirakan menghambat kredit industri dan meningkatkan risiko kredit macet atau nonperforming loan (NPL).

Ketika terdepresiasi, harga bahan baku impor lebih mahal bagi produsen nasional sehingga biaya yang perlu dikeluarkan perusahaan akan relatif lebih besar.

Dengan kondisi tersebut, maka profit perusahaan akan cenderung menurun karena biaya produksi akan naik sehingga ruang ekspansi perusahaan akan relatif terbatas.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kualitas kredit yang disalurkan perbankan pada Juni 2022 terus membaik. Kredit tidak hanya tumbuh hingga 10,66 persen yoy pada semester I/2022, tetapi juga mengalami penurunan rasio kredit bermasalah atau NPL gross menjadi 2,86 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini