Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan melaporkan telah menerima setoran pajak atas bunga yang diterima para pemberi pinjaman (lender) di platform teknologi finansial pendanaan bersama (peer-to-peer/P2P lending).
Sebagai informasi, aturan perpajakan untuk industri yang akrab disebut pinjaman online (pinjol) ini baru berlaku per 1 Mei 2022. Tepatnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Terkhusus P2P lending, terdapat aturan mekanisme pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas imbal hasil atau bunga yang diterima para lender. Adapun, pemotongan dilakukan secara langsung oleh setiap platform P2P lending.
Besaran potong pajak atas 'cuan' para lender ini terbagi dua. Pertama, PPh 23 untuk wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan badan usaha tetap (BUT) sebesar 15 persen dari jumlah bruto atas bunga. Kedua, PPh 26 untuk wajib pajak luar negeri (WPLN) selain BUT sebesar 20 persen dari jumlah bruto atas bunga atau sesuai ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Selain itu, PMK juga mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) buat segala fee dan komisi atas jasa besutan platform P2P lending yang diakses para pengguna, atau dalam hal ini disebut peminjam dana (borrower).
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KITA Juli 2022 mengungkap bahwa terkhusus setoran PPh dari para lender, nilainya telah mencapai Rp73,08 miliar hanya dalam sebulan setelah aturan berlaku, alias mulai dilaporkan dan dibayarkan sejak Juni 2022.
"Kita sudah memungut pajak untuk fintech P2P lending, yaitu PPh 23 dan PPh 26, masing-masing sebesar Rp60,83 miliar dan Rp12,25 miliar," ujarnya dalam konferensi pers virtual tersebut, dikutip Selasa (2/8/2022).
Sekadar informasi, jumlah lender aktif industri P2P lending berdasarkan statistik OJK per akhir Mei 2022 tercatat mencapai 147.470 entitas rekening, memegang outstanding pinjaman senilai Rp39,84 triliun dari para borrower aktif yang jumlahnya 15,3 juta entitas.
Sebagai gambaran, masih berdasarkan statistik OJK per Mei 2022, nominal outstanding yang dipegang para lender setiap bulan tercatat belum pernah turun sejak awal tahun. Tampak bahwa nominal piutang dalam tren terus bertambah sekitar Rp1-2 triliun setiap bulannya.
Artinya, potensi penerimaan negara setiap bulan dari cuan para lender P2P lending ke depan masih bisa lebih besar lagi ketimbang nominal realisasi saat ini. Terlebih, mayoritas P2P lending menerapkan sistem cicilan bulanan bagi borrower dalam membayarkan utangnya kepada para lender.
Secara terperinci, apabila membagi jumlah lender berdasarkan jenisnya, lender perorangan (ritel) dalam negeri merupakan yang terbanyak dari sisi kuantitas, yaitu mencapai 146.662 orang, memegang piutang pinjaman senilai Rp6,7 triliun.
Adapun, pemberi pinjaman kalangan institusi dalam negeri penyumbang nominal outstanding terbesar tercatat berasal dari 213 entitas bank dengan piutang Rp12,6 triliun. Menyusul setelahnya, 264 entitas institusi badan hukum lain-lain dengan piutang Rp10,9 triliun.
Selain itu, lender institusi dalam negeri juga bersumber dari kalangan industri keuangan non-bank (IKNB) sejumlah 74 entitas, dengan piutang Rp1,5 triliun. Terakhir, institusi berbentuk koperasi sebanyak 14 entitas turut berkontribusi walaupun nominalnya masih mini, yaitu mencatatkan piutang Rp154,8 miliar.
Bergeser ke lender dari luar negeri, jumlah lender ritel asing hanya 179 orang dengan piutang pinjaman Rp176,5 miliar. Adapun, sebanyak 57 entitas institusi badan hukum lain-lain dari luar negeri merupakan yang terbesar, di mana piutangnya mencapai Rp7,1 triliun.
Terakhir, lender institusi dari luar negeri lainnya hanya menyumbang outstanding secara tipis buat industri P2P lending Tanah Air, yaitu satu bank asing dengan piutang Rp1,1 miliar, dan enam institusi IKNB asing dengan piutang Rp519 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel