Bisnis.com, JAKARTA - Obligasi dapat menjadi pilihan investasi yang relatif stabil bagi investor pemula di tengah gejolak perekonomian.
Certified Financial Planner Anisa Aprilia menjelaskan bahwa buat investor pemula, instrumen obligasi yang paling memungkinkan untuk dibidik terutama surat berharga negara (SBN). Adapun, obligasi korporasi yang notabene minimun pembeliannya cukup tinggi, lebih banyak dibidik oleh perusahaan sebagai setara kas maupun investor yang berkantong tebal.
"Tapi kalau investor individu sudah punya anggaran minimal pembelian obligasi, biasanya Rp50 juta atau Rp100 juta, instrumen ini [obligasi korporasi] bisa menjadi salah satu sarana diversifikasi, karena return-nya biasanya lebih besar dari SBN. Namun, tetap perlu diingat, return lebih besar, risikonya pun lebih besar," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (4/8/2022).
Secara umum, resiko obligasi antara lain risiko likuiditas penerbit, risiko gagal bayar, dan risiko suku bunga (interest rate risk). Ketiga hal ini terutama untuk obligasi korporasi, sebab kecil kemungkinan negara bangkrut sehingga risiko gagal bayar SBN bisa diabaikan.
"Oleh karena itu, ketika ingin berinvestasi ke instrumen berbasis obligasi, atau bahkan langsung membeli obligasi itu sendiri, penting untuk mengecek kondisi kesehatan finansial dari emiten penerbit obligasi. Bisa dengan mengecek laporan keuangan, kemudian perhatikan rasio piutang, aset lancar, atau debt to equity ratio," tambah wanita yang akrab disapa Ica ini.
Selain itu, investor juga perlu cek rating atau investment grade dari lembaga rating yang diakui, biasanya minimal BBB atau lebih aman lagi hanya memilih dari rating A sampai AAA. Selain itu, penting juga untuk melihat frekuensi likuiditas transaksi obligasi dalam satu bulan di pasar sekunder.
Terkhusus untuk obligasi korporasi, tentunya sangat penting juga untuk cek prospek industri dari emiten terkait. Pasalnya, ada kemungkinan emiten tidak bisa membayar kupon bulanan, bahkan membayarkan pokok obligasi pada saat jatuh tempo, karena bisnisnya sedang terganggu.
Adapun, terkait potensi kenaikan suku bunga acuan dari BI, investor perlu mengingat bahwa sentimen ini berpeluang membuat harga obligasi yang telah terbit menjadi terdiskon. Sebab, harga obligasi bergerak dengan arah yang berlawanan dibandingkan suku bunga dan imbal hasil (yield) obligasi.
Sebagai gambaran, suatu investor bisa mendapat potensi keuntungan dari obligasi dengan harga diskon, karena adanya keuntungan tahunan yang diperoleh dari kupon dan selisih harga apabila memegang obligasi hingga jatuh tempo.
Oleh sebab itu, secara umum instrumen berbasis obligasi yang berpotensi melemah ketika suku bunga naik, terutama SBN. Selain itu, instrumen reksa dana dengan portofolio SBN mayoritas pun perlu diwaspadai, serta instrumen yang lebih banyak memiliki obligasi korporasi bertenor panjang.
Namun, kondisi ini juga bisa jadi peluang bagi investor yang baru berencana mulai masuk ke dalam instrumen reksa dana pendapatan tetap atau campuran berbasis obligasi, karena bisa jadi harga unitnya sedang menurun.
"Saat ini tren obligasi korporasi tenor pendek memang berisiko lebih rendah ketimbang tenor panjang. Untuk kondisi ekonomi yang masih penuh ketidakpastian, tenor pendek lebih mungkin menjadi pilihan investor," jelas Ica.
Analis Fixed Income Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Nasrudin menjelaskan hal serupa terkait obligasi korporasi bertenor pendek. Tak heran, tren kupon yang dibayarkan para emiten untuk obligasi di bawah 3 tahun pun cenderung lebih rendah, karena permintaannya di pasar sedang tinggi.
"Tenor jangka panjang lebih sensitif dengan kenaikan suku bunga di masa depan. Terlebih, kita bisa lihat sentimennya, yaitu kebijakan The Fed soal suku bunga. BI sendiri, walaupun belum ke arah sana [menaikkan suku bunga acuan], tapi telah mengetatkan kebijakan moneter melalui kenaikan GWM [giro wajib minimum perbankan] dan berpotensi akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat," ujarnya kepada Bisnis.
Hal ini turut tergambar dari tren penerbitan surat utang beberapa waktu belakangan yang mayoritas terbit dalam tenor jangka pendek. Menurut Ahmad, kendati menerima pengembalian yang lebih rendah, investor memandangnya masih menarik dan sebanding dengan tingkat risikonya, ketimbang memegang tenor jangka panjang.
Secara umum, porsi penerbitan surat utang tenor satu tahun melebihi tenor lima tahun, yaitu 24,4 persen berbanding 22,7 persen di semester I/2022. Padahal, sebelum pandemi, bahkan pada awal 2020, tenor lima tahun lebih dominan.
Namun demikian, saat ini instrumen berbasis obligasi korporasi cenderung masih dalam tren lebih diburu para investor ketimbang SBN. Sebab, obligasi terbitan negara notabene disebut save heaven, alias justru lebih menggoda ketika masa resesi, karena terdorong sentimen investor untuk mengamankan portofolionya.
"Dalam siklus investasi, selama masa pemulihan ekonomi, investor biasanya akan memburu saham dan surat utang korporasi, kemudian mulai beralih dari surat utang terbitan pemerintah. Sebab, instrumen yang lebih berisiko akan memberikan pengembalian yang lebih tinggi, sering dengan perbaikan prospek kinerja bisnis dan keuangan dari masing-masing emiten," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel