Menilik Potensi Ekonomi Digital di Indonesia, Tembus Rp4.531 triliun?

Bisnis.com,09 Agt 2022, 07:00 WIB
Penulis: Rika Anggraeni
Ilustrasi pembayaran menggunakan QR Code dengan ponsel pintar/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA – Potensi ekonomi digital di Indonesia memiliki prospek yang cerah dengan perkiraan pertumbuhan 8 kali lipat pada 2030 mendatang menjadi Rp4.531 triliun.

Potensi tersebut diikuti dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang diproyeksikan juga akan meningkat 1,5 kali dari tahun 2020 menjadi Rp24.000 pada 2030.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa belum lama ini mengatakan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 204,7 juta jiwa. Jumlah itu merupakan 73,7 persen dari total populasi per Januari 2022, yaitu 272,68 juta jiwa.

Berdasarkan data transaksi uang elektronik, Purbaya mengungkapkan selama 2021, terjadi transaksi uang elektronik (UE) di Indonesia sebanyak 5,4 miliar kali transaksi dengan nilai transaksi mencapai Rp239 triliun. Tren kenaikan tersebut juga secara konsisten masih terjadi hingga pertengahan 2022, baik secara volume maupun nilai.

“Masyarakat kita memang sebagian besar belum cashless, tetapi kita sedang bergerak ke arah sana. LPS akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, karena kami juga ingin mewujudkan dunia finansial digital yang tumbuh dengan baik, cepat, dan juga aman,” ujar Purbaya dalam Seminar “Menuju Masyarakat Cashless” secara daring, Rabu (3/8/2022).

Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menilai perkembangan ekonomi digital terakselerasi dengan sangat cepat, terutama akibat pandemi Covid-19. Selain itu, adopsi teknologi digital yang terus meningkat juga mendorong perekonomian berbasis digital.

“Kalau kita melihat penetrasi internet di Indonesia meningkat menjadi 72,87 persen. Hal ini juga didukung oleh perbaikan infrastruktur internet dan telekomunikasi yang terus merata ke seluruh pelosok Indonesia,” ujar Teguh kepada Bisnis, Senin (8/8/2022)

Teguh mengingatkan bahwa infrastruktur digital dan telekomunikasi yang luas merupakan prasyarat mutlak bagi ekonomi digital.

Berdasarkan data dari Kemenko Perekonomian, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia tercatat tertinggi di Asia Tenggara dengan nilai ekonomi sekitar US$70 miliar pada 2021 dan diperkirakan terus naik sampai US$146 miliar pada tahun 2025.

Teguh mengungkapkan Indonesia juga menjadi rumah bagi banyak perusahaan rintisan atau startup dengan beberapa di antaranya telah menjadi unicorn.

Indonesia saat ini memiliki 13 unicorn dari total 210 unicorn di dunia, dan diperkirakan akan memiliki 25 unicorn di tahun 2025. Oleh karena itu, kita melihat pertumbuhan ekonomi digital akan semakin pesat di masa depan,” tuturnya.

Dia memandang digitalisasi diperlukan mulai dari untuk mengakselerasi bisnis, membantu efisiensi, dan meningkatkan resiliensi, terutama pada new economy. Dengan beradaptasi secara digital, lanjut Teguh, maka bisnis tradisional akan dapat menambah saluran untuk meningkatkan profitabilitas.

 

UMKM MAJU

Sejumlah dampak dari adanya perkembangan ekonomi digital pun mulai terlihat. Teguh menyampaikan digitalisasi tentu akan meningkatkan efisiensi. Artinya, semakin efisien proses transaksi ekonomi, maka akan mendorong kenaikan produktivitas. Hal ini merupakan dampak langsung dari perekonomian digital, yaitu peningkatan produktivitas.

Tak hanya itu, digitalisasi juga semakin luasnya akses pasar. Kita ketahui bersama, saat ini para merchants atau sellers bisa menjangkau konsumen di beberapa lokasi. Menurut Teguh, hal ini penting bagi pengusaha kecil dan UMKM yang memiliki kendala dalam menjangkau pasar yang luas tersebut.

“Kemajuan teknologi juga membantu bisnis tradisional yang sudah ada untuk masuk dan berkembang bersama digital commerce, sehingga produk lokal maupun UMKM juga mampu menjaring konsumen di daerah lain yang sebelumnya tidak terjamah,” ungkapnya.

Laporan dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) mencatat, sekitar 19 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berjualan di platform digital yang berada di bawah naungan mereka. Adapun, 10 juta UMKM bergabung digital sejak pandemi Covid-19.

Sementara di sisi lain, tambah Teguh, konsumen juga dapat mencari penjual yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini yang mendorong terbukanya opsi multisaluran yang akan meningkatkan kesejahteraan konsumen (welfare improving) karena konsumen dapat memilih penjual yang sesuai.

Implikasi lain dari perekonomian digital adalah adopsi pembayaran digital. Sebagaimana kita lihat, adopsi QR code maupun e-wallet yang semakin banyak kita temui tidak hanya di toko atau merchant yang besar, namun juga pada pedagang kecil atau UMKM,” terangnya.

Selain itu, Teguh menambahkan bahwa laporan dari OJK juga menunjukkan penggunaan e-wallet di Indonesia semenjak pandemi meningkat drastis.

Dalam konteks ASEAN, laporan dari Redseer mengenai Fintech di Asia Tenggara menunjukkan bahwa hampir 30 persen penduduk Indonesia yang berbelanja di e-commerce menggunakan e-wallet. Angka ini tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Singapura.

“Hal inilah yang menyebabkan bahwa digitalisasi juga dapat mendorong inklusi keuangan karena masyarakat dapat meraih manfaat digitalisasi ekonomi dan bantuan sosial pemerintah melalui ponsel maupun komputer di rumah,” terangnya.

Sekadar informasi, mengacu hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019, menunjukkan tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan 2019 masing-masing mencapai 38,03 persen dan 76,19 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Feni Freycinetia Fitriani
Terkini