Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut beberapa bank berpotensi menaikkan suku bunga rupiah dan suku bunga valuta asing (valas) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.
Selain itu, LPS juga melihat bahwa ruang penurunan suku bunga simpanan diperkirakan akan semakin terbatas. Hal ini sejalan dengan kemungkinan penyesuaian suku bunga kebijakan dan tren meningkatnya inflasi.
Kendati demikian, LPS menilai beberapa bank masih melakukan penyesuaian suku bunga simpanan dengan laju yang semakin terbatas.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya faktor yang menyebabkan LPS memproyeksikan bahwa beberapa bank berpotensi menaikkan suku bunga rupiah dan suku bunga valas.
“Hal pertama yang perlu dipahami bersama adalah tren normalisasi kebijakan kini telah mulai dilakukan oleh beberapa bank sentral global,” kata Purbaya kepada Bisnis, Selasa (9/8/2022).
Purbaya menjelaskan bahwa The Federal Reserve System alias The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 225 basis poin (bps), yakni dari 0,00 persen – 0,25 persen menjadi 2,25 persen – 2,50 persen selama periode Maret sampai Juli 2022.
Selain itu, lanjut Purbaya, Bank of England (BoE) juga telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 165 bps, yakni dari 0,10 persen menjadi 1,75 persen selama periode Desember 2021 sampai Agustus 2022.
"Normalisasi kebijakan tersebut merupakan faktor yang berpotensi memberikan dampak terbatas pada kenaikan suku bunga simpanan valas di Indonesia," ungkapnya.
Apabila bank menaikkan suku bunga rupiah dan suku bunga valas, Purbaya melihat secara umum likuiditas industri perbankan saat ini masih dalam kondisi yang sangat ample.
Tercatat, per Juni 2022, DPK perbankan masih tumbuh sebesar 9,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dan DPK valas perbankan (dalam denominasi dolar AS) tumbuh sebesar 4,5 persen yoy.
Melihat hal tersebut, Purbaya menilai dampak terbatas atas kenaikan suku bunga valas tersebut tidak terlalu berpengaruh besar terhadap industri perbankan saat ini.
“Pada beberapa bank yang menaikkan suku bunga simpanan valasnya, tentu secara teori, kenaikan suku bunga simpanan tersebut akan menarik minat para deposan,” tuturnya.
Menurut Purbaya, penyesuaian suku bunga tersebut dapat dipahami sebagai sesuatu yang wajar dilakukan oleh bank dalam penghimpunan DPK dan pengelolaan likuiditas untuk mengantisipasi kebutuhan pertumbuhan kredit seiring dengan pemulihan ekonomi.
Namun demikian, Purbaya mengingatkan bahwa bank juga tetap perlu memberikan informasi yang jelas kepada nasabahnya bahwa simpanan valas yang bunganya di atas tingkat bunga penjaminan (TBP) tidak dijamin oleh LPS.
Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa mengingat saat ini banyak dana valas yang pindah dari deposito ke giro (bunganya lebih rendah), sensitivitas pergerakan simpanan valas terhadap perbedaan suku bunga amat kecil.
Artinya, lanjut Purbaya, bank masih belum akan kesulitan menghimpun dana valas. Sedangkan di sisi rupiah, dengan meningkatnya aktivitas perekonomian maka perputaran uang pun semakin meningkat, yang membuat DPK juga cenderung meningkat.
“Pendeknya, kondisi ekonomi saat ini masih membuka peluang DPK perbankan untuk terus bertumbuh dengan sehat,” terangnya.
Berdasarkan laporan Likuiditas Bulanan per Juli 2022, LPS memantau rata-rata tingkat bunga deposito rupiah (22 moving daily average) seluruh bank LPS pada akhir Juni 2022 stabil di level 3,09 persen. Sementara itu, suku bunga maksimum turun 2 bps ke level 3,66 persen, sedangkan suku minimum naik 1 bps ke level 2,53 persen.
Adapun hingga Juni 2022, suku bunga seluruh bank untuk valas mulai menunjukkan kenaikan dipengaruhi kenaikan suku bunga offshore dan suku bunga operasi moneter.
LPS menyampaikan suku bunga maksimum naik 7 bps ke level 0,64 persen. Di sisi lain, suku bunga minimum dan rata-rata seluruh bank valas masing-masing naik 4 bps dan 5 bps ke level 0,39 persen dan 0,51 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel