BRIS, BBTN, dan BGTG Siap Semarakkan Right Issue Semester II/2022

Bisnis.com,20 Agt 2022, 20:48 WIB
Penulis: Dionisio Damara
Karyawati Bank Syariah Indonesia melayani nasabah di KC Jakarta Hasanudin, Jakarta, Selasa (2/2/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Sederet perbankan bersiap melaksanakan penambahan modal lewat skema rights issue pada paruh kedua 2022. Aksi korporasi ini dilakukan untuk mendorong ekspansi bisnis atau mengejar tenggat waktu ketentuan modal inti minimum.

PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BBTN masing-masing berharap aksi penambahan modal lewat mekanisme rights issue dapat berlangsung pada kuartal IV/2022.

Bank Syariah Indonesia atau BSI, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, bersiap mengeksekusi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) I dengan menerbitkan maksimal 6 miliar saham baru.

BSI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 23 September 2022 untuk meminta persetujuan rencana tersebut. Nilai nominal saham baru yang akan diterbitkan sebesar Rp500 per saham. Adapun, harga pelaksanaan dan jumlah final atas saham baru yang diterbitkan akan diumumkan kemudian.

Merujuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), jangka waktu antara tanggal persetujuan RUPSLB hingga efektifnya pernyataan pendaftaran tidak lebih dari 12 bulan.

“PMHMETD I diharapkan akan dilaksanakan dan selesai pada kuartal IV/2022,” tulis manajemen BSI.

Sementara itu, Bank BTN juga berencana menggelar rights issue pada kuartal IV/2022. Aksi tersebut tidak terlepas dari rencana penyertaan modal negara (PMN) dari pemerintah kepada perseroan senilai Rp2,98 triliun. Alhasil kepemilikan pemerintah terjaga di level 60 persen.

Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo berharap langkah penambahan modal yang akan ditempuh melalui rights issue dapat meningkatkan jumlah penyaluran pembiayaan rumah dari perseroan.

“Jumlah penyaluran pembiayaan rumah Bank BTN diharapkan akan menjadi lebih besar jika pada saatnya nanti pemerintah menyetujui aksi korporasi dalam rights issue yang direncanakan dapat dilaksanakan pada akhir tahun ini,” ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa melalui aksi penambahan modal tersebut, emiten bank berkode saham BBTN ini diperkirakan mampu menyalurkan pembiayaan rumah sekitar 1,5 juta unit hingga akhir tahun 2025, atau naik hampir 8 kali lipat dari kondisi saat ini.

Kejar Modal Inti

Di sisi lain, PT Bank Ganesha Tbk. akan kembali melakukan aksi tambah modal lewat mekanisme rights issue. Penambahan modal tersebut untuk memenuhi aturan modal inti minimum yang ditetapkan sebesar Rp3 triliun pada tahun ini.

Emiten bank berkode saham BGTG tersebut rencananya akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 7,5 miliar saham baru dengan nominal Rp100 per saham.

Dalam prospektusnya yang dikutip pada Sabtu (20/8/2022), jumlah saham tersebut memiliki porsi 45,54 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan. Harga pelaksanaan akan diumumkan dalam prospektus mendatang.

Manajemen BGTG menjelaskan aksi penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu II (PMHMETD II) akan berlangsung setelah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa atau RUPSLB pada 26 September 2022.

Manajemen Bank Ganesha menyatakan dana hasil rights issue, setelah dikurangi biaya emisi, akan digunakan untuk memperkokoh struktur permodalan yang nantinya digunakan untuk modal kerja perseroan. Saat ini, total ekuitas BGTG baru mencapai sekitar Rp2,2 triliun per Mei 2022.

Penambahan modal tersebut juga dalam kerangka pengembangan usaha perseroan melalui pemberian kredit, termasuk penyaluran kredit dengan skema digital.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rights issue berkorelasi erat dengan syarat kenaikan modal inti perbankan. Menurutnya, peningkatan modal dibutuhkan untuk mengantisipasi gejolak ekonomi ke depan.

Namun, dia mengkhawatirkan penyerapan rights issue dari bank kecil tidak akan maksimal lantaran ramainya perbankan yang menggelar aksi korporasi serupa.

“Karena kalau dilakukan secara bersamaan, tentunya investor akan lebih selektif dalam membeli saham dari bank-bank yang kecil. Jadi disarankan, kalau bank melakukan akuisisi atau merger,” kata Bhima kepada Bisnis.

Selain itu, Bhima menyoroti kondisi likuiditas bank kecil karena adanya tren kenaikan tingkat suku bunga. Menurutnya, kenaikan suku bunga sampai dengan 100 basis poin akan berpengaruh terhadap kondisi likuiditas bank kecil.

Kendati demikian, dia menilai bank kecil memiliki prospek besar jika mampu bertransformasi menjadi bank digital dan memiliki rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) yang rendah. Alhasil, para investor akan melirik rights issue di bank kecil tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fitri Sartina Dewi
Terkini