Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai kenaikkan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia akan terus berlanjut hingga akhir 2022 dan awal 2023, dengan proyeksi mencapai 50 basis poin (bps).
PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengatakan kenaikan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen merupakan respons kebijakan moneter yang sifatnya pre-emptive dan forward looking dalam menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang mendukung terjaganya stabilitas perekonomian, terlebih di tengah kondisi global.
Dia mengatakan ekspektasi inflasi yang meningkat di akhir tahun menjadi salah satu faktor kenaikkan suku bunga. Ekspektasi inflasi yang meningkat didorong oleh peningkatan harga yang barang bergejolak dan barang yang diatur pemerintah dalam 2-3 bulan terakhir.
“Belum lagi, Pemerintah berpotensi melakukan penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat. Peningkatan kedua komponen inflasi tersebut berpotensi meningkatkan inflasi inti di akhir tahun sebagai efek dari second round,” kata Josua kepada Bisnis, Selasa (23/8).
Faktor kedua yang membuat kenaikkan, menurutnya, adalah output gap yang tercatat positif yang mengindikasikan peningkatan sisi permintaan.
Pada kuartal II/2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,44 persen yoy, di atas ekspektasi, yang berimplikasi pada output gap yang positif dari Indonesia.
Kemudian, faktor ketiga adalah potensi penurunan surplus dari transaksi berjalan pada akhir tahun, seiring dengan normalisasi harga komoditas global.
Josua mengatakan penurunan nilai transaksi berjalan berpotensi mempengaruhi fundamental nilai tukar Rupiah sehingga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah mengingat ekspektasi harga komoditas yang akan melandai kedepannya.
“Dengan kenaikan suku bunga acuan BI di Agustus, ditujukan untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti dalam jangka pendek-menengah,” kata Josua.
Dia menuturkan instrumen dari suku bunga sendiri pada dasarnya hanya mampu menahan laju dari inflasi inti, dan bukan dari sisi inflasi barang bergejolak atau barang yang diatur pemerintah.
Dia memperkirakan kenaikan suku bunga akan menahan permintaan untuk barang dan jasa dalam derajat tertentu, sehingga inflasi inti dapat dikendalikan. Untuk barang bergejolak sendiri, diperkirakan laju inflasinya akan mulai melambat seiring dengan musim panen di bulan Agustus–September.
Inflasi barang bergejolak berpeluang meningkat kembali di akhir tahun. Adapun untuk inflasi barang yang diatur pemerintah erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, terutama subsidi energi.
“Inflasi di akhir tahun diperkirakan mampu mencapai 5,0–5,5 persen. Oleh sebab itu, BI diperkirakan berpotensi untuk melanjutkan kenaikan hingga akhir tahun ini sebesar 50bps dan hingga awal tahun depan,” kata Josua.
Lebih lanjut, kata Josua, berkaitan dengan dampaknya terhadap permintaan akan barang dan jasa, kenaikan suku bunga tentunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, terutama berkaitan dengan investasi hingga konsumsi, bergantung pada seberapa cepat transmisi kenaikan suku bunga oleh sektor perbankan.
Dari sisi inflasi sendiri, dampaknya terhadap keyakinan konsumen dan penjualan ritel, yang pada 2 bulan terakhir mulai mengalami penurunan.
Pada kuartal III/2022, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2022. Namun, kenaikan pertumbuhan ekonomi ini lebih disebabkan oleh low base effect pada kuartal 3 2021, yang melambat akibat penyebaran varian Delta Covid-19.
"Dengan ekspektasi masih solidnya pertumbuhan ekonomi, maka pertumbuhan kredit pun diperkirakan akan tetap solid di kisaran 9-11 persen yoy mengingat kondisi likuiditas yang tetap mendukung penyaluran kredit perbankan,” kata Pardede.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel