Kripto di Indonesia, OJK Ingatkan Kebijakan Investasi untuk Asuransi Hingga Leasing

Bisnis.com,25 Agt 2022, 17:30 WIB
Penulis: Denis Riantiza Meilanova
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan Ogi Prastomiyono./Bisnis - Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Industri keuangan di Tanah Air seperti perusahaan asuransi, dana pensiun hingga leasing diingatkan untuk tidak berinvestasi di aset kripto.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menegaskan bahwa seluruh lembaga jasa keuangan di bawah pengawasan OJK dilarang untuk menggunakan aset kripto. Hal ini karena aset digital tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Seiring globalisasi dan perkembangan teknologi yang cepat dan kompleks di sektor jasa keuangan, risiko tindak pidana pencucian uang melalui produk atau layanan jasa keuangan semakin meningkat. Sebagai ilustrasi, kata Ogi, tren digitalisasi yang terakselerasi selama pandemi dan tumbuhnya animo masyarakat untuk berinvestasi telah mendorong perkembangan produk investasi digital, seperti mata uang kripto (crypto currency) dan non-fungible token (NFT).

"Berdasarkan laporan Crypto Crime Report 2022 yang dipublikasikan Chainalysis, transaksi crypto currency tumbuh menjadi US$15,8 triliun pada 2021 atau meningkat 567 persen jika dibandingkan dengan 2020. Akan tetapi, berkembangnya aset mata uang digital tersebut belum diikuti dengan penerapan kerangka pengaturan dan pengawasan secara komprehensif dan konsisten sehingga aset mata uang digital berpotensi dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memfasilitasi TPPU," ujar Ogi dalam webinar Tren dan Tantangan Anti Money Laundering di Era Digital, Kamis (25/8/2022).

Hal tersebut, lanjutnya, sejalan dengan laporan Chainalysis yang menyampaikan bahwa sepanjang 2021 pelaku kejahatan siber mencuci sebesar US$8,6 miliar pada aset berupa crypto currency atau meningkat 30 persen dibandingkan 2020. Dengan ini akumulasi pencucian uang melalui crypto currency mencapai US$33 miliar sejak 2017.

"Dengan mempertimbangkan potensi risiko dari aset digital tersebut maka OJK melarang semua lembaga jasa keuangan memfasilitasi aset kripto. Dengan kebijakan itu, maka semua bank, asuransi, hingga multifinance yang berada dalam pengawasan OJK tidak diperkenankan untuk menggunakan, memasarkan, dan atau memfasilitasi aset kripto tersebut," tegas Ogi.

Di samping itu, menurutnya, perkembangan inovasi teknologi informasi di sektor jasa keuangan juga mendorong pertumbuhan frekuensi dan nilai transaksi keuangan melalui platform digital. Hal ini menghadirkan tantangan bagi pelaku usaha jasa keuangan yang menerapkan program anti pencucian uang secara efektif. Untuk itu, dia berharap transformasi proses bisnis pelaku usaha jasa keuangan dapat mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital yang komprehensif mempertimbangkan kepentingan untuk mengendalikan risiko TPPU secara efektif.

Selain itu, intensitas transaksi keuangan yang semakin tinggi juga menekankan pentingnya penerapan program anti pencucian uang yang dijalankan dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko.

"Untuk itu OJK menilai pelaksanaan kegiatan sectoral risk assessment (SRA) dan national risk assessment (NRA) memegang peranan penting untuk membantu sektor jasa keuangan dalam identifikasi area berisiko tinggi yang rentan untuk dimanfaatkan pelaku TPPU. Area berisiko tinggi tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa faktor, antara lain berdasarkan industri, jenis produk, layanan, dan metode transaksi," kata Ogi.

Dengan memanfaatkan output dari pelaksanaan SRA dan NRA tersebut, lembaga jasa keuangan dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki secara optimal untuk dapat menjalankan upaya pengendalian risiko TPPU dan tindak pidana pembiayaan terorisme secara efektif dan efisien.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini