Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75 persen membuat PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) juga akan menyesuaikan suku bunga sesuai dengan acuan yang terbaru.
Berdasarkan data suku bunga dasar kredit (SBDK) BBRI per 31 Agustus 2022, perseroan menetapkan suku bunga kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit mikro masing-masing sebesar 8 persen, 8,25 persen, dan 14 persen. Sedangkan untuk kredit konsumsi, yakni KPR dan non KPR, BRI mematok besaran 7,25 persen dan 8,75 persen.
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan kenaikan BI rate akan menyebabkan peningkatan perebutan dana di masyarakat.
“Namun saat ini, perebutan dana di masyarakat tidak akan seketat pada saat pertumbuhan kredit mencapai double digit,” kata Aestika kepada Bisnis, Selasa (30/8/2022).
Kendati demikian, Aestika menyatakan dengan likuiditas perbankan, khususnya BRI saat ini berada dalam kondisi yang memadai. Tercatat, rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) BRI secara konsolidasian di level 88,5 persen pada akhir kuartal II/2022.
Aestika melanjutkan bahwa secara teknis, penyesuaian suku bunga kredit tidak bisa dilakukan serta-merta begitu suku bunga acuan berubah. Hal tersebut dikarenakan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor likuiditas serta struktur simpanan dan pinjaman yang berbeda beda antar masing-masing bank.
“Menurut proyeksi BRI, perubahan suku bunga tidak akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan kredit, mengingat suku bunga kredit bukan satu-satunya variabel untuk meningkatkan pertumbuhan kredit nasional,” ungkapnya.
Berdasarkan perhitungan model ekonometrika, kata Aestika, variabel paling sensitif atau elastisitasnya paling tinggi terhadap pertumbuhan kredit adalah konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Oleh karena itu, bank pelat merah bersandi saham BBRI itu tetap optimistis mampu menumbuhkan kredit secara umum di kisaran 9 persen – 11 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) hingga akhir tahun 2022, atau sampai dengan saat ini tidak merevisi pertumbuhan yang ditetapkan pada awal tahun.
Sebelumnya, Ekonom dan Direktur Riset Senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan secara teori, sudah sepatutnya kenaikan suku bunga acuan BI berimbas pada perbankan yang ikut mengerek suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Piter memperkirakan perbankan bakal mulai mengerek suku bunga KPR dan KKB pada 3—6 bulan atau 1 triwulan sampai dengan 2 triwulan.
"Kalau suku bunga [KPR dan KKB] tidak naik, penyaluran kredit tetap tinggi berarti kenaikan suku bunga acuan BI itu tidak efektif. Jadi, seharusnya naik [suku bunga KPR dan KKB]," ujarnya.
Adapun, dia memperkirakan tinggi atau rendahnya laju pertumbuhan bisnis KPR dan KKB di tahun ini bukan hanya dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga, melainkan juga dipengaruhi faktor lain. Salah satunya adalah isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Asumsinya faktor lain tidak berubah, walaupun mengalami kenaikan suku bunga KPR dan KKB, saya perkirakan proses pulihnya ekonomi ini akan menyebabkan tetap tumbuh kredit KKB maupun KPR,” terangnya.
Akan tetapi, kata Piter, apabila pemerintah menaikkan harga BBM maka itu akan mempengaruhi proses pemulihan ekonomi secara keseluruhan yang menyebabkan harga-harga naik dan daya beli terpangkas, serta pertumbuhan ekonomi turun.
“Bisa juga [kenaikan harga BBM] menyebabkan permintaan terhadap kredit tertahan atau tidak tumbuh, ataupun kalau tumbuh itu tumbuhnya sangat kecil. Jadi tidak hanya disebabkan oleh kenaikan suku bunga, tapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel