Bisnis.com, JAKARTA — Gairah korporasi untuk melakukan pembiayaan terhadap kebutuhan ekspansi bisnisnya diyakini tidak bakal surut hingga akhir tahun ini, meski tengah dibayangi oleh sentimen pelemahan daya beli masyarakat akibat kenaikan suku bunga acuan dan inflasi.
Seiring dengan itu, laju penyaluran kredit sindikasi perbankan, atau kredit yang diberikan secara bersama-sama oleh sekelompok bank untuk satu debitur, masih berpotensi untuk meningkatkan juga. Beberapa sektor usaha pun masih potensial di tengah sentimen risiko yang ada saat ini.
Adapun, hingga pertengahan September 2022 ini, pembiayaan sindikasi perbankan dan lembaga keuangan telah mencapai US$16,61 miliar. Sebagai pembanding, pada akhir September 2021, pembiayaan sindikasi tercatat sebesar US$17,13 miliar.
Ulasan tentang bagaimana laju kredit sindikasi ini menjadi salah satu pilihan Bisnisindonesia.id, selain beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Selasa (13/9/2022):
1. Asa Emiten Properti meski Suku Bunga dan Harga BBM Naik
Meski kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia serta harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi bakal memperlemah daya beli masyarakat, sejumlah emiten properti papan atas mengaku tidak begitu khawatir terhadap potensi dampaknya kepada laju kinerja keuangan mereka.
Emiten-emiten ini berpandangan kedua faktor tersebut hanya akan minim dampaknya terhadap peningkatan biaya bunga kredit pemilikan rumah (KPR) atau daya beli masyarakat. Sebagai emiten papan atas dengan brand yang kuat, mereka yakin penjualan mereka akan tetap kuat.
Namun, kendati kalangan pengembang mungkin tetap optimistis terhadap kinerja keuangannya, investor sahamnya belum tentu memiliki optimisme yang sama terhadap prospek sahamnya. Jika menilik kinerja di Bursa Efek Indonesia, IDX Sector Property & Real Estate masih menjadi salah satu indeks terlemah.
2. Menakar Laju Kredit Sindikasi di Tengah Impitan Inflasi
Tren positif pembiayaan sindikasi oleh perbankan dan lembaga keuangan diproyeksikan terus berlanjut hingga akhir 2022. Ekonom menilai masih ada sejumlah sektor yang berpotensi untuk dibiayai.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. masih menjadi penguasa pasar pembiayaan secara sindikasi dengan market share hingga 22 persen, disusul PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dengan market share sekitar 18 persen.
Kemudian, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), yang berada di posisi ketujuh dari sisi penguasaan pangsa pasar kredit sindikasi tahun ini, optimistis kredit patungan ini masih akan tumbuh di tengah gejolak politik global dan inflasi dalam negeri.
Sejauh ini, beberapa sektor yang masih menarik didanai oleh pembiayaan sindikasi adalah pertambangan, perkebunan, dan telekomunikasi. Proyek infrastruktur seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga berpotensi untuk dibiayai.
3. Peluang Ekonomi Hijau ADRO Kala Pembiayaan Perbankan Disetop
Emiten batu bara milik konglomerat Garibaldi Thohir, PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) berupaya untuk menangkap peluang sektor green economics atau ekonomi hijau melalui pembangunan smelter aluminium di kawasan industri Kalimantan Utara sebagai gelombang awal.
Emiten dengan kode saham ADRO tersebut menargetkan fase awal smelter aluminium pada kuartal pada kuartal I/2025 dengan kapasitas 500.000 ton per tahun.
Apalagi, baru-baru ini, pemberi pinjaman terbesar Singapura, DBS, mempertebal komitmennya untuk menghentikan pendanaan ke sektor batu bara, termasuk Adaro Energy. Upaya itu menyusul langkah serupa yang diumumkan perbankan yang berbasis di London, Inggris, Standard Chartered.
Penyetopan pembiayaan oleh DBS dan Standard Chartered mungkin barulah sebuah pembuka bagi gelombang peralihan sektor keuangan menuju proyek-proyek hijau yang berkelanjutan.
4. Manuver Bjorka, Bukti Perlindungan Data Publik Masih Nihil
Aksi peretas yang menggunakan nama Bjorka sepekan terakhir cukup mencengangkan. Selain membocorkan sederet data masyarakat, para pejabat Negara termasuk Presiden Joko Widodo turut menjadi sasaran. Ini merupakan bukti bahwa perlindungan data publik masih sekadar isapan jempol belaka.
Nama samaran peretas ini terus mendengung setidaknya sejak Agustus hingga kini. Manuver yang dilakukannya memang menyita perhatian publik. Catatan Bisnis menunjukkan bahwa sedikitnya delapan aksi pembocoran data dilakukan dalam dua bulan terakhir.
Dimulai dengan bocornya 17 juta data pelanggan PT PLN (Persero). Dilanjutkan dengan tersebarnya 26 juta data pelanggan layanan internet IndiHome, 1,3 miliar data SIM Card hingga bobolnya 100 juta data kependudukan yang disimpan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tidak sampai di situ, data pribadi Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wapres Ma’ruf Amin, Menkominfo Johnny G Plate, hingga Ketua DPR RI Puan Maharani ikut dibobol dan dijual. Dari sini terlihat bahwa bukan hanya data pribadi masyarakat yang dapat diretas, informasi penting pejabat publik juga cukup mudah di-hack.
5. Harga BBM Naik, Siapkah Pengusaha Bayar Kenaikan Upah Buruh?
Kenaikan harga bahan bakar minyak membuat daya beli masyarakat rentan terganggu. Pemerintah telah menyiapkan bantalan sosial untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM.
Namun, hal itu dinilai tidak mencukupi. Kalangan buruh pun menuntut agar tahun depan upah ditingkatkan. Sementara itu, jika melihat penentuan upah minimum provinsi pada 2022, hal itu didasarkan pada formula yang terdapat dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP tersebut merujuk pada UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan perhitungan tersebut, BPS mengumumkan UMP 2022 naik di kisaran 1,09 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Lantas, bagaimana dengan penentuan UMP pada 2023, apakah masih menggunakan formula yang sama? Penentuan kenaikan upah buruh pada awal tahun depan diprediksi akan berlangsung alot. Kenaikan harga BBM menjadi salah satu faktor yang menjadi persoalan.
Buruh mengharapkan persentase kenaikan upah yang lebih besar, sementara pengusaha juga harus menghadapi ancaman penurunan produktivitas. Kenaikan upah buruh dan penurunan produktivitas pada akhirnya menjadi dua hal yang harus ditanggung pengusaha.
Tidak mengherankan jika Kamar Dagang dan Industri Indonesia menilai penentuan kebijakan upah minimum pada 2023 akan dihadapkan pada kerumitan tersendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel