Restrukturisasi Kredit Covid-19 Sektor Akomodasi, Makanan dan Minuman ‘Tinggal’ Rp126,06 Triliun

Bisnis.com,13 Sep 2022, 12:21 WIB
Penulis: Leo Dwi Jatmiko
Karyawati menghitung uang rupiah di salah satu kantor cabang PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. di Jakarta, Selasa (16/8/2022). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Kredit restrukturisasi perbankan yang terdampak Covid-19 terus bergerak melandai. Otoritas Jasa Keuangan (OK) melaporkan kredit yang mendapatkan relaksasi per Juli 2022 tersisa Rp560,41 triliun. Lebih rendah dibandingkan dengan Juni 2022 yang sebesar Rp560,41 triliun. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp126,06 triliun berasal dari sektor akomodasi, makanan, dan minuman. Sementara itu sektor real estate dan sewa total nilai restrukturisasi kreditnya mencapai 51,87 triliun. 

OJK juga mencatat bahwa 40 persen dari kredit yang direstrukturisasi karena terdampak Covid-19 telah kembali sehat dan keluar dari program restrukturisasi. Sedangkan 60 persen lainnya masih berjuang untuk pulih.

Sejalan dengan kondisi restrukturisasi kredit yang melandai,  Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan OJK tengah mempertimbangkan efektivitas keberlanjutan kebijakan restrukturisasi kredit. 

Hal itu dilakukan sehubungan tingkat pemulihan kinerja debitur yang berbeda di setiap sektor, wilayah dan segmen. Sebagai gambaran, secara proporsional sektoral, proporsi sektor akomodasi, makanan dan minuman masih di atas 20 persen, yaitu sekitar 42,69 persen. Sementara itu sektor real estate dan sewa mencapai 17,9 persen. 

“Ke depan arah stimulus OJK akan lebih targeted kepada sektor, segmen, maupun wilayah yang dianggap masih membutuhkan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam siaran pers, Selasa (13/9/2022). 

Dian mengatakan OJK akan terus mencermati perkembangan perekonomian dan kasus Covid-19 dan terus mengobservasi berbagai faktor antara potensi dan tantangan pemulihan ekonomi ke depan. 

Dia tidak menampik berbagai tantangan masih berpotensi menghalangi optimisme pemulihan ekonomi, diantaranya masih tingginya tensi geopolitik global, disrupsi rantai pasok, tingginya harga komoditas dan energi serta efek rembetan dari peningkatan inflasi dan suku bunga yang memicu stagflasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini