Bisnis.com, JAKARTA - Memburuknya profitabilitas perusahaan asuransi yang bermain di lini bisnis asuransi kredit merupakan cerminan rendahnya daya tawar para pemain terhadap kepentingan perbankan. Asuransi kredit berperan dalam rangka memoles kinerja non-performing loan (NPL) tetap ciamik.
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman mengungkap bahwa fenomena asuransi kredit ini turut tercermin dari tren jumlah klaim yang selalu beriringan dengan tingkat loan-at-risk perbankan selama 5 tahun belakangan.
"Secara umum, bargaining power perusahaan asuransi memang rendah. Terlebih, khusus asuransi kredit, ketika bank minta tolong, kemungkinan kecil pemain [asuransi] menolak, walaupun nantinya akan berhadapan dengan loss ratio yang tinggi," ujarnya dalam diskusi terbatas bersama media, dikutip Kamis (22/9/2022).
Adapun, lembaga riset besutan Holding BUMN Asuransi dan Penjaminan Indonesia Financial Group (IFG) ini sebenarnya telah mengungkap fenomena dan isu terkait asuransi kredit dalam sebuah studi yang meluncur pada pertengahan 2022 lalu.
Riset bertajuk 'Asuransi Kredit: Perspektif di Tengah Tantangan' ini salah satunya mengungkap bahwa daya tawar yang rendah dari para pemain merupakan akibat keterikatan pengendali atau pemilik yang sama dengan beberapa entitas perbankan, atau berada dalam satu konglomerasi keuangan yang sama dengan suatu bank.
"Ini menyebabkan ketergantungan dan akhirnya membawa suatu mindset, yaitu yang penting dapat premi dengan segala risiko yang ada, ketimbang tidak dapat premi sama sekali. Inilah yang kemudian juga membuat para pemain cenderung tidak punya jawaban lain kecuali mengambil risiko tersebut," tambah Ibrahim.
Research Associate IFG Progress Nada Serpina menambahkan dorongan akan kepentingan perbankan tersebut pula yang membuat asuransi kredit di Indonesia masih menjadi salah satu penggerak industri asuransi umum, setelah lini bisnis asuransi properti dan asuransi kendaraan bermotor.
"Jadi peran besar asuransi kredit terhadap industri turut terdorong oleh kepentingan perbankan penyalur kredit yang punya keterkaitan dengan penugasan dari pemerintah, atau untuk back-up bank dalam konglomerasi keuangan yang sama dengan pemain bersangkutan," ungkapnya.
Sebagai gambaran, porsi pangsa pasar asuransi kredit terhadap industri asuransi umum mencapai 15,5 persen. Padahal, hampir di seluruh negara maju, porsi asuransi kredit begitu rendah, contohnya Amerika Serikat hanya 0,3 persen, Jerman 2,4 persen, Perancis 2 persen, Jepang 0,4 persen, China 1,5 persen, dan Singapura 5,2 persen.
Sementara itu, Research Associate IFG Progress Yuridunis Saidah mengakui bahwa tingginya loss ratio bisnis asuransi kredit di Indonesia membuat beberapa perusahaan reasuransi mengurangi porsi berbagi risiko dengan para perusahaan asuransi umum yang bermain di lini bisnis ini.
Ke depan, IFG Progress menilai industri asuransi kredit perlu berbenah dalam beberapa aspek, terutama untuk memperbaiki loss ratio dan menangani tren terus memburuknya tingkat profitabilitas perusahaan akibat lini bisnis ini.
Beberapa masukan, di antaranya mulai lebih dalam dalam mempertimbangkan aspek underwriting loan perbankan, serta memperkuat upaya-upaya untuk menekan fenomena informasi asimetris, demi mencegah terjadinya fraud dan moral hazard.
Selain itu, apabila produk asuransi kredit memiliki karakteristik premi tunggal jangka panjang, perlu adanya ketentuan-ketentuan khusus yang turut mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam jangka waktu tertentu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel