Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia mencatat suku bunga kredit dan simpanan masih relatif stabil hingga Agustus 2022. Meski demikian, langkah penyesuaian akan ditempuh perbankan seiring kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 4,25 persen.
Berdasarkan laporan Analisis Perkembangan Uang Beredar Agustus 2022, stabilnya suku bunga pinjaman dan simpanan tecermin dari rata-rata tertimbang suku bunga kredit yang sebesar 8,94 persen, atau tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, bank sentral mencatat suku bunga simpanan berjangka stabil dengan kecenderungan meningkat untuk tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan, yang masing-masing sebesar 2,89 persen, 3 persen, 3,23 persen, 3,30 persen, dan 3,49 persen.
Adapun suku bunga pinjaman pada Juli 2022 untuk tenor 1 bulan (2,86 persen), 3 bulan (2,97 persen), tenor 6 bulan (3,20 persen), 12 bulan (3,27 persen), dan 24 bulan (3,47 persen).
Berdasarkan asesmen terkini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21–22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI7DRR sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen. Pada saat bersamaan, suku bunga deposit facility turut meningkat sebesar 50 bps menjadi 3,50 persen, dan suku bunga lending facility juga naik 50 bps menjadi 5,00 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah pencegahan sekaligus forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 2 hingga 4 persen pada paruh kedua 2023.
Kenaikan suku bunga acuan, lanjutnya, juga mempertimbangkan langkah untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Terkait hal tersebut, Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Rudi As Aturridha menuturkan bahwa secara umum diproyeksikan bank-bank akan membutuhkan waktu penyesuaian suku bunga simpanan dan kredit dalam 3–6 bulan ke depan.
“Penyesuaian ke dalam bunga kredit juga akan sangat bergantung kepada kualitas kredit di masing-masing bank sehingga adjustment tidak akan menimbulkan potensi kenaikan NPL [non-performing loan] ke depannya,” ujarnya baru-baru ini.
Selain itu, kata Rudi, kondisi lain yang menjadi pertimbangan antara lain likuiditas pasar dan struktur biaya dana atau cost of fund untuk suku bunga dana.
“Ke depannya, kami akan terus memantau perkembangan suku bunga acuan, posisi likuiditas, dan kompetisi di pasar, agar rate yang kami berikan ke nasabah tetap kompetitif,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) Daniel Budirahayu menuturkan akan memacu pertumbuhan dana murah atau current account saving account (CASA) di tengah kenaikkan suku bunga acuan.
Dia mengatakan perseroan sudah memerhitungkan kenaikan suku bunga simpanan dengan melihat inflasi dan kebijakan bank sentral Amerika Serikat serta kondisi pasar.
“Tentunya kenaikan suku bunga simpanan akan berdampak kenaikan suku bunga pinjaman. Tetapi sampai saat ini kenaikan suku bunga pinjaman masih manageable karena posisi CASA kami cukup baik,” pungkasnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan CASA adalah jenis dana pihak ketiga (DPK) dengan bunga yang sangat rendah mendekati nol persen.
Semakin besar CASA maka kecil biaya dana atau cost of fund (CoF) bank juga makin kecil. Dengan demikian bank diharapkan bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang rendah tetapi tetap mendapatkan spread atau keuntungan yang cukup tinggi.
Jika bank ingin kompetitif dalam menyalurkan kredit bank tersebut harus mampu merebut dana masyarakat dengan cost of fund yang rendah atau bisa mendapatkan CASA yang lebih besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel