Opini: Likuiditas Valas Perbankan Masih Longgar

Bisnis.com,27 Sep 2022, 07:11 WIB
Penulis: Ardhienus
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA - Banyak kalangan belakangan ini memandang likuiditas valuta asing (valas) di perbankan terancam mengering.

Umumnya, pernyataan mereka berpatokan pada nisbah pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) valas yang meningkat. Imbas dari penyaluran kredit valas yang melaju kencang melampaui laju penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas.

Selain menggambarkan fungsi intermediasi, indikator LDR memang lazim digunakan tatkala menilai kondisi likuiditas bank. Indikator ini menunjukkan seberapa besar dana yang didapat dari masyarakat yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit.

Sisa DPK yang tidak terpakai akan ditempatkan pada instrumen atau aset yang memiliki likuiditas tinggi seperti Surat Berharga Negara dan instrumen operasi moneter Bank Indonesia (BI) seperti fasilitas deposit. Bila membutuhkan likuiditas, bank tinggal menjual aset likuid tersebut. Makin tinggi LDR, makin sedikit sisa DPK yang ditempatkan di alat likuid.

Kendati demikian, menggunakan LDR semata sesungguhnya masih belum tepat untuk menilai kondisi likuiditas perbankan seutuhnya.

Dalam praktiknya selama ini, perbankan juga mendapatkan sumber dana lain selain DPK untuk penyaluran kredit. Pertama, bank menerbitkan surat berharga global, seperti yang dilakukan Bank Mandiri pada tahun lalu yang mengeluarkan Sustainability Bond sebesar US$300 juta.

Kedua, bank memperoleh pinjaman dari pihak lain baik dari domestik maupun luar negeri. Dana dari luar negeri umumnya dalam bentuk utang luar negeri. Sebagai contohnya, pada Laporan Keuangan Publikasi Juni 2022, pinjaman yang diterima dalam valas Bank Mandiri mencapai Rp39,48 triliun, sementara BRI Rp28,49 triliun.

Pendanaan non-DPK memang memiliki peran penting dalam pengelolaan likuiditas bank. Sebagaimana diketahui bahwa DPK berjangka pendek dan bisa ditarik sewaktu waktu oleh pemilik dana (giro dan tabungan) ataupun dalam periode 1 bulan—3 bulan (deposito).

Sementara kredit yang disalurkan berjangka waktu panjang. Di sini muncul persoalan ketidaksesuaian jangka waktu (maturity mismatch). Akibatnya, bank berpotensi mengalami kesulitan likuiditas apabila nasabah beramai-ramai menarik dananya.

Sebaliknya, pendanaan non-DPK bersifat jangka panjang berkisar 3 tahun—5 tahun. Dengan begitu, bank bisa menyesuaikan jangka waktu kredit dengan jangka waktu pendanaan non-DPK. Alhasil, tidak terjadi maturity mismatch sehingga bank dapat terhindar dari potensi risiko likuiditas.

Lalu bagaimana dengan gambaran likuiditas valas perbankan saat ini? Bersandar pada data BI per Juli 2022, perolehan DPK valas dalam ekuivalen rupiah masih tumbuh cukup tinggi yaitu 7,49% secara year on year (YoY), menjadi Rp1.039,01 triliun. Persentase ini meningkat ketimbang Juli 2021 yang tumbuh 6,44% (YoY).

Pada sisi lain, penyaluran kredit valas berlari lebih kencang mencapai 15,57% (YoY) menjadi Rp925,36 triliun, meningkat ketimbang Juli 2021 yang terkontraksi 5,33% (YoY).

Dari angka-angka tersebut, LDR valas perbankan berada pada level 89,06%, melonjak ketimbang Juli 2021 yang berada pada level 82,83%. Meski naik, tetapi LDR valas tersebut masih berada di bawah level prapandemi (2010—2019) yang rata-rata berada pada angka 91,93%.

Dari sini menunjukkan likuiditas valas perbankan masih belum mengkhawatirkan dan terkelola dengan baik.

Jika memperhitungkan sumber pendanaan non-DPK yang kemudian kita sebut loan to financing ratio (LFR), maka didapat angka LFR pada level 73,46% per Juli 2022, naik ketimbang Juli 2021 yang berada pada level 68,50%.

Angka LFR valas tersebut juga belum mencapai level pra pandemi yang rata-rata berada pada angka 76,02%. Level LFR itu menunjukkan bahwa likuiditas valas di perbankan sejatinya masih longgar.

Masih longgarnya likuiditas valas perbankan dikuatkan pula dari sisi jumlah alat likuid valas yang dipelihara perbankan. Menurut catatan BI, hingga 29 Juli 2022, nisbah alat likuid valas terhadap DPK Valas (AL/DPK) berada pada angka yang tinggi yaitu 37,31%.

Kondisi likuiditas valas tersebut menunjukkan perbankan nasional masih memiliki ruang untuk meningkatkan penyaluran kredit valas. Namun, tentu saja perbankan tidak boleh gegabah dan jor-joran menyalurkan kredit valas.

Faktor ketersedian dana valas tetap menjadi faktor penting yang diperhitungkan bank. Apabila likuiditas valas dinilai akan mengering, bank perlu mengerem kredit valas atau mencari sumber pendanan valas lainnya.

Di samping itu, faktor peningkatan risiko juga perlu dipertimbangkan mengingat ke depan inflasi bakal melesat imbas kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral dan potensi perlambatan ekonomi global.

Pemerintah dan BI tentu perlu terus mengupayakan dan menjaga pasokan valas. Upaya pemerintah menerbitkan global bond selain untuk membiayai defisit fiskal APBN, juga dapat digunakan untuk menambah pasokan valas.

Yang terpenting pemerintah dan BI harus mengupayakan agar devisa hasil ekspor, terutama dari sektor komoditas tetap masuk dan tersimpan di perbankan domestik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini