Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai tidak akan terjadi perebutan dana di perbankan, di tengah kenaikan giro wajib minimum (GWM), suku bunga acuan Bank Indonesia, hingga tingkat suku bunga penjaminan LPS.
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia mengerek rasio GWM perbankan menjadi 9 persen per 1 September 2022. Adapun, sejak 1 Maret–15 September 2022, penyesuaian GWM telah menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp269,3 triliun.
Tak hanya itu, bank sentral juga kembali menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,25 persen. Teranyar, LPS juga mengerek suku bunga penjaminan rupiah di bank umum dan BPR sebesar 25 bps dan simpanan dalam valuta asing sebesar 50 bps.
“Walaupun GWM, suku bunga acuan, dan tingkat bunga penjaminan LPS dinaikkan, saya masih melihat keadaan likuiditas perbankan lebih dipengaruhi oleh kebijakan keseluruhan dari bank sentral kita, yang didukung oleh keuangan maupun lembaga lembaga yang lain di KSSK,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam Konferensi Pers Tingkat Bunga Penjaminan LPS, Selasa (27/9/2022).
Untuk laju pertumbuhan uang primer (M0) misalnya, Purbaya mengungkapkan bahwa saat ini M0 masih berada pada level 32 persen. Nilai itu, kata Purbaya, jauh di atas level pada puncak krisis tahun 2020, yakni sempat menyentuh -15,4 persen. Dengan demikian, Purbaya menyimpulkan bahwa baik likuiditas perbankan maupun ekonomi secara keseluruhan berada dalam kondisi yang amat baik.
“Dengan keadaan seperti itu [GWM hingga suku bunga acuan BI naik], saya tidak melihat akan adanya terjadinya perebutan dana yang berlebihan di perbankan, dalam pengertian, bank-bank kecil sampai menaikkan suku bunga ke tingkat yang amat tinggi,” jelasnya.
Untuk suku bunga deposito rupiah Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) I misalnya yang berada di level 2,70 persen. Dia memandang kondisi likuiditas masih cukup baik, di mana perbankan tidak menaikkan deposito ke level yang tinggi.
“Itu [suku bunga deposito] rata-rata di bawah tingkat suku bunga LPS, jadi masih ample. Saya kira sampai akhir tahun depan kelihatannya akan dijaga seperti ini, walaupun ada sinyal kebijakan dari moneter ketat, LPS ketat sedikit, bukan berarti akan mengganggu likuiditas di sistem perbankan secara signifikan dalam pengertian mereka akan menjadi sulit menyalurkan kredit,” terangnya.
Purbaya menegaskan bahwa LPS menjalankan kebijakan dengan tetap menjaga fungsi intermediasi perbankan. Adapun ketika inflasi tinggi, maka LPS harus melakukan kebijakan untuk memberi sinyal bahwa regulator amat peduli terhadap pengendalian inflasi dengan memberi sinyal, yakni dengan sedikit mengetatkan kebijakan moneter.
“Tetapi tidak pada tingkat yang mengganggu intermediasi perbankan maupun mengganggu pemulihan pertumbuhan ekonomi,” tandasnya.
Adapun hingga Agustus 2022, LPS mencatat kondisi rasio-rasio likuiditas masih cukup memadai, di mana AL/NCD berada di level 117,99 persen, AL/DPK sebesar 26,52 persen, dan rata-rata LDR perbankan masih di sekitar 81 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel