Menakar Potensi Pertumbuhan Bank Digital di Indonesia

Bisnis.com,29 Sep 2022, 04:15 WIB
Penulis: Rika Anggraeni
Menakar Potensi Pertumbuhan Bank Digital di Indonesia. Ilustrasi bank digital. /facebook.com/WeBankCN

Bisnis.com, JAKARTA – Langkah Bank Indonesia (BI) yang memutuskan untuk mengerek suku bunga menjadi 4,75 persen membuat ruang gerak bank digital untuk memperoleh dana pihak ketiga (DPK) kian ketat.

Kendati demikian, analis memandang semua bank, termasuk bank digital, memiliki potensi untuk tumbuh karena Indonesia mempunyai pasar yang sangat besar. Selain itu, masyarakat yang belum terhubung dengan bank juga masih besar.

Analis Mirae Asset Sekuritas Handiman Soetoyo menyampaikan sepanjang semester I/2022, pertumbuhan kredit dan penghimpunan DPK yang dimiliki bank digital sangat tinggi hingga melesat ratusan persen.

PT Bank SeaBank Indonesia misalnya, menjadi emiten bank digital terafiliasi Shopee telah menyalurkan kredit tertinggi pada paruh pertama di tahun ini. Kredit yang disalurkan SeaBank melesat 814 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dari Rp1,53 triliun menjadi Rp13,95 triliun.

“Namun, perlu dicatat itu karena mereka berangkat dari angka kecil sehingga wajar pertumbuhannya secara persentase bisa sangat tinggi. Secara absolut, bank digital masih jauh dibanding bank konvensional,” kata Handiman kepada Bisnis, Rabu (28/9/2022).

Dengan terkereknya BI rate, lantas, bagaimana prospek bank digital dan bank konvensional ke depan? Berikut penjelasannya.

Sekadar informasi, bank sentral resmi mengerek suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen pada 22 September 2022. Kenaikan suku bunga acuan tersebut juga berpotensi memberikan tekanan tambahan bagi bank digital, menyusul langkah perbankan konvensional yang mulai menaikkan suku bunga dana. 

Sepakat, Handiman menilai bank konvensional juga akan menaikkan suku bunga simpanannya walaupun bertahap, sehingga hal tersebut berpeluang memperbesar pertumbuhan simpanan di bank konvensional. 

“Kita lihat bank digital cukup banyak tantangannya karena dari berbagai aspek, mereka masih jauh tertinggal dibandingkan bank konvensional yang sudah mapan,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga dinilai lebih berpengaruh terhadap bank-bank yang lebih kecil, termasuk digital karena komposisi DPK lebih didominasi time deposit.

“Karena biasanya lebih yakin taruh uang di bank-bank besar yang biasanya banyak cabang. Sedangkan untuk bank kecil, biasa orang mau taruh uang karena suku bunga deposito yang tinggi,” terangnya. 

Bank Digital vs Bank Konvensional

Handiman menerangkan sedikitnya ada tujuh hal yang menjadi perbandingan bank digital dan konvensional. Pertama adalah customer atau nasabah. 

Handiman menuturkan bank konvensional memiliki customer jauh lebih luas dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan muda sampai dewasa, dari perkotaan sampai pedesaan. Di sisi lain, mayoritas customer bank digital lebih menyasar milenial dan dengan ticket size deposit lebih kecil. 

“Customer bank digital pun mungkin banyak yang tertarik buka akun karena promosi bunga tinggi, namun akun utamanya akan tetap di bank konvensional,” jelasnya.

Kedua, ekosistem. Dalam hal ini, ekosistem tidak hanya dimiliki perusahaan teknologi bank digital, melainkan bank konvesional juga memiliki ekosistem yang sudah dibangun bertahun-tahun.

Dia mencontohkan emiten bank pelat merah, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) yang memiliki ekosistem masyarakat mikro di pedesaan. Sementara itu, bank swasta seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) memiliki ekosistem pebisnis dari UMKM, komersial, hingga korporasi.

Kemudian, bank digital, kata Handiman, meskipun memiliki ekosistem yang diklaim besar, tetapi beririsan dengan ekosistem ekosistem bank konvensional. Pasalnya, bank konvensional juga sudah sejak lama menerapkan open API dengan berbagai ekosistem untuk memperluas ekosistemnya.

Ketiga, network atau jaringan. Selain memiliki mobile app, bank konvensional juga didukung oleh jaringan yang tersebar luas, mulai dari kantor cabang, ATM, agen, hingga merchants.

“Kebanyakan bank digital hanya mengandalkan mobile app, tanpa cabang ATM. Jadi, bank konvensional mampu memberikan keleluasaan dan kenyamanan lebih pada nasabahnya,” ujarnya.

Keempat, model bisnis. Handiman menjelaskan bahwa bank konvensional memiliki infrastruktur untuk menyalurkan kredit dan memperoleh DPK melalui berbagai bentuk kantor cabang maupun ATM.

“Kredit korporasi tentunya membutuhkan cabang, sulit dilayani lewat mobile app. Kebanyakan bank digital mengandalkan channeling untuk meyalurkan kredit,” imbuhnya.

Tak hanya itu, untuk menghimpun DPK, bank digital akan mengandalkan bank transfer dari akun nasabah di bank konvensional, mengingat bank digital tidak memiliki kantor cabang/ATM yang dapat menerima dana tunai.

“Ditambah lagi, rekening gaji atau payroll pun kebanyakan berada di bank konvensional, bukan dari bank digital,” lanjutnya.

Kelima, profitability. Rekam jejak yang dimiliki bank konvensional terbukti mampu menghasilkan profit di masa sulit seperti krisis, pandemi, dan suku bunga tinggi. Sementara itu, Handiman melihat bank digital masih baru dan belum terbukti mampu menghasilkan profit secara konsisten.

Hal keenam adalah reputasi dan kepercayaan. Handiman menilai bank adalah bisnis kepercayaan. Dalam hal ini, bank konvensional sudah membangun reputasi itu selama bertahun-tahun.

Ketujuh, yaitu nilai valuasi. Handiman mengungkapkan bahwa mayoritas bank konvensional memiliki valuasi PBV 0.5-2x.

“Hanya BBCA yang memang sangat bagus valuasinya premium di 4x. Sedangkan bank digital saat ini ada yang PBV 5x, 10x bahkan lebih dari itu. Pertanyaannya, apakah layak bank digital divaluasi setinggi itu, sedangkan dari berbagai aspek tadi bank konvensional jauh lebih unggul dibanding bank digital?” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianus Doni Tolok
Terkini