Bisnis.com, JAKARTA - PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) melakukan restrukturisasi portofolio asuransi kredit konsumtifnya seiring banyaknya permasalahan tata kelola dalam lini bisnis tersebut.
Pada 2018, asuransi kredit konsumtif menyumbang sebesar 33 persen terhadap portofolio Askrindo, hampir seimbang dengan portofolio penjaminan KUR Askrindo yang sebesar 39 persen. Namun, dalam 2 tahun terakhir, porsi asuransi kredit konsumtif turun signifikan menjadi 10 persen pada 2021 dan 1 persen sampai dengan Juni 2022.
Direktur Teknik Askrindo Vincentius Wilianto mengungkapkan bahwa penurunan tersebut karena sejak awal 2021, Askrindo dan anak perusahaan Indonesia Financial Group (IFG) lainnya melakukan restrukturisasi portofolio asuransi kreditnya.
"Kami berhenti menerima premi-premi baru. Kami berusaha nego dengan bank-bank untuk restrukturisasi," ujar Vincentius dalam acara IndonesiaRe International Conference 2022, Kamis (29/9/2022).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa fitur produk asuransi kredit konsumtif (AKK) lebih berisiko ketimbang produk kredit usaha rakyat (KUR). Penjaminan KUR memiliki risk coverage hingga 70 persen dan hanya menanggung gagal bayar nasabah bank pada kolektibilitas 4, sementara AKK memiliki risk coverage 70-100 persen dan menanggung gagal bayar pada kolektibilitas 3 atau 4.
"Asuransi kredit konsumtif di asuransi umum juga termasuk menutup asuransi jiwanya dan hebatnya tidak ada underwriting, health questionnaire dan waiting periode tidak ada. Jadi guaranteed acceptance tanpa underwriting dan risiko yang ditanggung juga kayak lay off, ada ganti payroll, itu langsung diklaimkan," paparnya.
Dari sisi durasi pertanggungan, AKK bisa mencapai 20 tahun dan yang menjadi akar permasalahan adalah pembayaran preminya berupa premi tunggal.
Hal-hal tersebut, kata Vincentius, menimbulkan masalah besar karena sejak 2012 terlihat ultimate claim dan fee based income & brokerage telah melambung tinggi, jauh di atas earned premium (premi yang sudah menjadi pendapatan).
"Kenapa bisa terjadi? Banyak faktor, ada price war, KPI hanya pikirkan top line itu yang jadi bencana. Lalu, cara pandang loss ratio yang salah karena kurangnya akutaris yang memenuhi syarat. Jadi lihatnya klaim rasio adalah klaim dibagi premi tunggal, ya selalu kelihatan rendah banget karena aliran bisnis baru kenceng. Kayak skema ponzi," jelasnya.
Menurutnya, guna memperbaiki portofolio asuransi kredit ada sejumlah opsi program restrukturisasi yang bisa dilakukan. Pertama, mengakhiri semua kontrak polis yang ada dan mengembalikan premi berdasarkan formula Peraturan OJK. Kedua, terminasi pertanggungan jiwanya dan mengembalikan premi secara proporsional, sementara pertanggungan kredit macetnya tetap dilanjutkan.
Kemudian, menerapkan stop loss untuk existing dan new business untuk modifikasi besar cadangan karena limit dari eksposur dibatasi.
"Saat ini, kami sedang deal dengan beberapa bank untuk run-off eksisting bisnis, tapi kami minta jumlah sisanya dibatasi jumlah klaim, termasuk cara bayar kami minta dicicil. Terlalu berat bagi kami secara cash flow karena kami sudah berhenti, tidak ada bisnis baru yang datang," tutur Vincentius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel