Simpanan di Perbankan Tumbuh Melambat, Tergerus Inflasi?

Bisnis.com,03 Okt 2022, 19:23 WIB
Penulis: Dionisio Damara
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). /Antara Foto-Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kinerja dana pihak ketiga atau DPK perbankan tumbuh melambat pada Agustus 2022. Ekonom melihat perlambatan ini kemungkinan besar terjadi karena meningkatnya laju inflasi di Tanah Air.

OJK mencatat DPK perbankan pada Agustus 2022 tumbuh sebesar 7,77 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp7.608 triliun. Laju pertumbuhan ini melambat dibandingkan Juli 2022 yang naik 8,59 persen yoy. Perlambatan DPK utamanya didorong oleh giro.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyampaikan bahwa penurunan DPK hanya bersifat seasonal atau musiman seiring dengan kenaikan sejumlah bahan pokok.

“Masyarakat melihat kondisi saat ini lebih banyak untuk konsumsi daripada menyimpan uangnya karena harga-harga melambung tinggi, dampak dari kenaikan BBM [Bahan Bakar Minyak],” tutur Amin ketika dihubungi Bisnis, Senin (3/10/2022).

Badan Pusat Statistik (BPS) pada hari ini mengumumkan laju inflasi pada September 2022 mencapai 1,17 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) atau tertinggi sejak Desember 2014. Adapun secara tahunan menembus 5,95 persen.

BPS mencatat komoditas utama penyumbang inflasi adalah harga BBM, beras dan tarif angkutan dalam kota. Sektor transportasi berkontribusi 1,08 persen terhadap inflasi September 2022.

Meski demikian, Amin memproyeksikan awal tahun depan, masyarakat akan kembali mempertimbangkan untuk menyimpan dananya di perbankan sehingga guncangan terhadap likuiditas perbankan hanya bersifat sementara.

“Untuk strategi pengelolaan likuiditas, bank bisa mencari alternatif pembiayaan lain. Kalau untuk DPK korporasi, sifatnya lebih seasonal lagi karena biasanya menjelang akhir tahun ada pembayaran untuk proyek-proyek tertentu, jadi pastinya akan turun,” pungkasnya.

Sejauh ini, OJK menyampaikan likuiditas perbankan terpantau masih dalam level memadai, meski di tengah tren penurunan likuiditas sebagai dampak dari pengetatan moneter baik melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) maupun suku bunga acuan.

OJK mencatat rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 118,01 persen dan 26,52 persen. Posisi ini masih jauh di atas ambang batas minimum, yang masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini