Jaga Stabilitas Sektor Keuangan, Ini Jurus OJK Hadapi Ancaman Resesi Global

Bisnis.com,03 Okt 2022, 20:19 WIB
Penulis: Dionisio Damara
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memberikan keterangan dalam konferensi pers triwulanan KSSK di Jakarta, Senin (1/8/2022). /Youtube Kemenkeu

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan langkah proaktif untuk memastikan terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan di tengah kondisi global, yang diproyeksikan bakal menghadapi resesi pada 2023.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan transmisi kondisi global akan tetap terjadi, meski saat ini kondisi perekonomian dan sektor keuangan domestik masih terjaga. Oleh karena itu, kewaspadaan dan langkah mitigasi mutlak diperlukan.

Mahendra menyampaikan transmisi diperkirakan terjadi melalui penurunan kinerja eksternal akibat merosotnya harga komoditas dan melemahnya permintaan barang ekspor Indonesia.

Transmisi juga bisa terjadi melalui peningkatan tekanan di pasar keuangan akibat penurunan likuiditas global ataupun potensi contagion jika terjadi krisis nilai tukar di negara kawasan. Oleh karena itu, OJK menyiapkan sederet langkah strategis untuk menjaga stabilitas jasa keuangan.

Pertama, OJK terus memantau dan memastikan ketersediaan likuiditas, baik mengantisipasi potensi risiko maupun terkait dengan pelaksanaan fungsi intermediasi lembaga jasa keuangan.

“Di sisi lain, OJK juga mencermati perkembangan kenaikan biaya dana lembaga jasa keuangan, sehubungan dengan respons peningkatan suku bunga,” ujarnya, Senin (3/10/2022).

Kedua adalah OJK meminta lembaga jasa keuangan untuk terus mencermati risiko pasar, termasuk eksposur dalam surat-surat berharga dan valuta asing di tengah tren penguatan dolar Amerika Serikat, erta peningkatan volatilitas di pasar keuangan global.

“Dalam kaitan ini, OJK meminta lembaga jasa keuangan untuk secara intensif melakukan scenario analysis dalam rangka memitigasi risiko yang mungkin timbul,” pungkasnya.

Ketiga otoritas juga meminta lembaga jasa keuangan untuk mencermati perkembangan risiko kredit di sektor-sektor ekonomi dengan konsumsi energi yang tinggi, serta yang berhubungan erat dengan siklus harga komoditas.

Keempat, kata Mahendra, OJK akan mempertahankan beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mengelola volatilitas dan menghadapi tantangan yang terjadi di pasar modal domestik dalam beberapa waktu ke depan.

Kebijakan itu, antara lain asymmetric auto-rejection, pelarangan transaksi short selling, dan pelaksanaan trading halt untuk penurunan IHSG sebesar 5 persen. Upaya ini seiring dengan masih tingginya volatilitas pasar dan potensi meningkatnya tekanan ke depan.

Mahendra juga menyampaikan bahwa OJK saat ini mulai mewanti-wanti terkait ancaman resesi ekonomi global yang kemungkinan terjadi lebih cepat dari perkiraan.

“Saya rasa memang kita paham bahwa resesi global hampir pasti akan terjadi, setidaknya pada 2023. Kalau tidak lebih cepat dari itu,” pungkasnya.

Ancaman resesi global meningkat seiring dengan kenaikan suku bunga kebijakan (policy rate) dari bank sentral utama di dunia, sebagai respons mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan moneter ini dilakukan oleh mayoritas bank sentral global, tak terkecuali Bank Indonesia.

Mahendra mengatakan hal ini kemudian mendorong kekhawatiran resesi global meningkat, sehingga lembaga internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan OECD menurunkan outlook pertumbuhan ekonomi global.

Meski resesi dipastikan terjadi, Mahendra mengatakan bahwa ada beberapa hal yang belum dapat diprakirakan, yakni seberapa berat kondisi resesi dan berapa lama resesi akan terjadi. Namun, ekonomi Indonesia pada 2022 dan 2023 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini