Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerima 226.267 layanan berupa permintaan informasi dan pengaduan melalui berbagai kanal sampai dengan 23 September 2022. Dari jumlah tersebut, OJK mencatat sebanyak 10.109 pengaduan masyarakat.
Anggota Dewan Komisioner (ADK) OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK) Friderica Widyasari Dewi mengatakan bahwa dari jumlah pengaduan tersebut, sebanyak 50 persen merupakan pengaduan atau lebih dari 5.000 pengaduan terkait sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB). Sementara itu, sebanyak 49,5 persen merupakan pengaduan sektor perbankan dan sisanya merupakan pengaduan yang berasal dari layanan sektor pasar modal.
“Jenis pengaduan yang paling banyak adalah restrukturisasi kredit atau pembiayaan, perilaku petugas penagihan, dan layanan informasi keuangan,” kata Friderica dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan secara virtual, Senin (3/10/2022).
Maka dari itu, Friderica yang akrab disapa Kiki itu menyatakan OJK telah menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan secara berkala memanggil Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) terkait untuk memperoleh klarifikasi dan penyelesaian dan tercatat 86,6 persen dari pengaduan tersebut telah terselesaikan.
Dia menyampaikan banyaknya jumlah pengaduan yang diterima OJK disebabkan karena masih adanya ketimpangan yang cukup tinggi antara akses produk finansial dengan pemahaman produk keuangan di Tanah Air. Apalagi saat ini tengah terjadi fenomena di mana masyarakat Indonesia yang memiliki produk keuangan, seperti asuransi, perbankan, hingga pasar modal, belum sepenuhnya memahami akan produk apa yang mereka beli dan pakai.
“Karena masih ada gap, artinya masih ada masyarakat yang menggunakan produk dan jasa di sektor keuangan tetapi belum paham sebetulnya produk apa yang digunakan. Ini semua yang kemudian yang menjelaskan alasan banyaknya dispute dan pengaduan konsumen ke OJK karena tidak paham produk jasa keuangan yang digunakan,” terangnya.
Berdasarkan survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan sebesar 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Adapun, merujuk survei terbaru, Friderica mengungkapkan terdapat kenaikan yang terjadi pada indeks literasi maupun inklusi keuangan di Indonesia. Kenaikan tersebut diharapkan bisa mencapai target inklusi 90 persen pada 2024.
“Ada kenaikan yang sangat menggembirakan, literasi sekitar 49,9 persen sedangkan inklusi sekitar 84,2 persen. Angkanya akan fix dalam beberapa hari ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, upaya untuk mencapai target inklusi 90 persen pada 2024 itu tidak hanya dilakukan oleh OJK, melainkan juga sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik melalui kementerian/lembaga, Bank Indonesia, pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pelaku usaha jasa keuangan, maupun stakeholders lainnya.
Terkait hal itu, OJK terus mengoptimalkan peran 449 Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang tersebar di 34 provinsi dan 415 kabupaten/kota. Adapun, Program TPAKD tersebut antara lain Program Kredit/Pembiayaan Melawan Rentenir atau K/PMR, Kredit Pembiayaan Sektor Prioritas (K/PSP) Pertanian, program Satu Rekening Satu Pelajar (KEJAR), Simpanan Mahasiswa dan Pemuda (SIMUDA), dan program business matching lainnya.
“Upaya perluasan akses keuangan tersebut dibarengi program edukasi keuangan secara masif, baik secara online maupun tatap muka,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel