Pengendalian Inflasi Bali Masih Dalam Jangka Pendek

Bisnis.com,04 Okt 2022, 16:42 WIB
Penulis: Harian Noris Saputra
Seorang ibu membeli jahe dan rempah-rempah lainnya di pasar Badung, Provinsi Bali pada Selasa (10/3/2020)./Bisnis

Bisnis.com, DENPASAR – Pengendalian inflasi yang dilakukan oleh pemerintah di Bali dinilai hanya mampu menyelesaikan permasalahan dalam jangka pendek dan belum mampu menyelesaikan masalah inflasi dari harga bergejolak atau volatile food secara berkelanjutan.

Tercermin dari data BPS Bali inflasi pada Juli 2022 tercatat 6,7 persen yang disebabkan oleh melambungnya harga cabai merah, bawang merah dan cabai rawit karena terbatasnya komoditas tersebut di tingkat pengecer.

Operasi pasar yang digunakan oleh pemerintah daerah, instansi seperti Bank Indonesia dinilai hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, sementara masalah yang sama akan terus berulang setiap tahun.

Pengamat Ekonomi Universitas Warmadewa, Putu Ngurah Suyatna Yasa, menjelaskan pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah inflasi dari komoditas volatile food seperti cabai rawit, bawang merah.

“Kalau penyelesaiannya hanya operasi pasar atau pasar murah, kemudian mendatangkan dari luar daerah itu hanya penyelesaian jangka pendek. Sementara ini sudah menjadi masalah dari dulu yang sampai sekarang belum ada penyelesaian dalam jangka panjang,” jelas Suyatna saat dihubungi Bisnis, Selasa (4/10/2022).

Suyatna menjelaskan, harus ada terobosan yang dilakukan pemangku kebijakan dalam membangun pertanian Bali, seperti pendekatan teknologi agar pertanian Bali tidak bergantung terhadap musim. Sehingga bisa menanam komoditas seperti cabai, bawang sepanjang tahun.

“Pertanian dengan teknologi yang belum diterapkan di Bali, ini yang harus diterapkan ke depan jika Bali ingin keluar dari masalah inflasi,” ujar Suyatna.

Daerah yang selama ini menjadi kawasan pertanian seperti Tabanan, Jembrana, Buleleng, Bangli, Karangasem harus dipertahankan sebagai daerah pertanian, sehingga tidak bergantung terhadap pariwisata seperti Badung dan Denpasar. Alih fungsi lahan di daerah pertanian juga harus terkendali dengan baik agar sektor pertanian bisa bergeliat.

Produksi komoditas penyumbang inflasi seperti bawang merah misalnya, menurut data BPS pada 2021 sejumlah 23.215 ton, sebagian besar bawang tersebut dihasilkan oleh kabupaten Bangli sejumlah 21.434 ton, sedangkan daerah lain seperti Buleleng 526 ton, Karangasem 1.010 ton, Tabanan 80 ton dan Denpasar 156 ton. Untuk memenuhi kekurangan bawang merah, Bali biasanya mendatangkan dari kabupaten Bima, NTB.

Kemudian produksi cabe Bali pada 2021 sejumlah 40.922 ton, paling besar dihasilkan oleh kabupaten Bangli sejumlah 12.967 ton, kemudian Buleleng 11.705 ton, Karangasem 11.015 ton, dan kabupaten lain di bawah 5.000 ton. Potensi tersebut masih bisa bertambah jika Bali bisa menerapkan pertanian hidroponik.

Bali juga dinilai belum bisa melepas ketergantungan dari pariwisata walaupun beberapa kejadian bencana menyebabkan pariwisata sepi seperti bom Bali, peningkatan status Gunung Agung, hingga pandemi yang membuat pariwisata sepi selama dua tahun.

Menurut Suyasa, paradigma pembangunan baru seperti yang dikonsepkan oleh Gubernur dengan memprioritaskan pertanian harus direalisasikan hingga kabupaten dan kota, sehingga Bali bisa melakukan diversifikasi ekonomi secara bertahap. (C211)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Miftahul Ulum
Terkini