Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law sektor keuangan tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang memuat penyelenggaraan penjaminan polis asuransi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dinilai menjadi angin segar bagi industri asuransi.
LPS yang sebelumnya dikenal sebagai lembaga yang menjamin simpanan dana masyarakat di perbankan, kini harus menambah tugas sebagai lembaga penjaminan polis asuransi di perusahaan asuransi.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, pihaknya akan menunggu draft RUU tersebut terlebih dulu yakni aturan yang terkait sektor perbankan maupun sektor keuangan nonbank.
“Pada prinsipnya LPS selalu siap untuk menjalankan aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat, kami selalu siap menjalankan amanat undang-undang,” kata Purbaya belum lama ini.
Pengamat Asuransi Kapler Marpaung menyambut baik rencana RUU P2SK yang menyebutkan bahwa LPS menjamin dan melindungi dana masyarakat yang ditempatkan pada bank dan perusahaan perasuransian, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3A. Terlebih, kata Kapler, LPS menyatakan bersedia apabila diberikan amanat untuk menjadi lembaga penjamin polis.
“Ini [RUU P2SK] bagian dari suatu penyehatan industri perasuransian. Dalam arti, bisa kembali menimbulkan kepercayaan masyarakat akan industri asuransi yang saat ini sedang mendapatkan banyak tantangan yang luar biasa, khususnya yang berkaitan dengan terjadinya gagal bayar di beberapa perusahaan asuransi,” kata Kapler kepada Bisnis, Senin (10/10/2022).
Kapler memandang, dengan berdirinya lembaga penjamin polis, maka bisa memulihkan kepercayaan masyarakat atau nasabah kepada industri asuransi. Pasalnya, industri asuransi kini tengah diselimuti sejumlah tantangan, seperti gagal bayar. Dengan demikian, dia menilai keberadaan lembaga penjamin polis akan membuat industri perasuransian menjadi lebih baik.
Di samping semakin turunnya kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi, tantangan lain dari industri ini adalah bagaimana agar industri kepercayaan ini dapat kembali dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang mendasar.
“Karena prinsip-prinsip yang mendasar itu sudah lari. Itu berkaitan dengan konsep risiko yang prudent underwriting dan kehati-hatian. Itu sempat terabaikan sehingga menimbulkan kerugian bagi industri asuransi,” ungkapnya.
Sama halnya dengan investasi di asuransi jiwa, Kapler menuturkan bahwa industri ini juga menjadi tantangan sebab ketentuan peraturan perundangan di bidang investasi di asuransi masih memberikan celah terjadinya rugi atas investasi.
Di samping itu, menurutnya, tantangan yang tidak kalah penting, yakni adanya tekanan bagi para pemegang saham agar terjadi pertumbuhan premi yang mengakibatkan terabainya risk assessment. Menurutnya, prinsip prudent underwriting belum terkelola dengan optimal. Maka dari itu, dengan hadirnya lembaga penjamin polis, menandakan akan ada lembaga pengawas untuk membuat industri asuransi semakin lebih prudent.
“Adanya LPP [Lembaga Penjamin Polis] itu bagus dan industri asuransi harus menyambut dengan baik. Dengan adanya lembaga penjamin polis, maka akan ada lembaga pengawas yang lain untuk membuat industri asuransi semakin sehat,” terangnya.
Wakil Menteri BUMN Bicara Asuransi
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo membenarkan bahwa industri asuransi di Tanah Air masih memiliki setumpuk permasalahan dan tantangan tersendiri yang membuat nasabah terus mengalami kerugian dan berujung menjadi kasus baru. Setidaknya, Tiko panggilan akrabnya, menyebutkan ada tiga tantangan yang harus diselesaikan di industri asuransi.
Tantangan pertama, yakni ketersediaan data. Tiko menilai ketersediaan data merupakan tantangan terbesar di industri asuransi, sebab dengan database bisa melakukan melihat loss assessment.
“Database tentunya menjadi penting untuk bisa kita mempunyai satu statistical base yang bisa memberikan forward looking estimation mengenai future klaim yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Tantangan selanjutnya atau kedua, yaitu pricing. Menurutnya, dinamika industri asuransi seringkali mempunyai daya tawar di bawah perbankan. Saat ini, Tiko menyampaikan tantangan yang tengah dihadapi adalah premi industri karena adanya asuransi asuransi jiwa kredit (AJK), yakni produk yang bukan hanya asuransi jiwa saja, melainkan mencakup asuransi kredit.
“Saya melihat memang intersepsi ini terlalu terlambat, kita menyadari permasalahan soal terlambat dan ini saya rasa masukan dan kritik juga untuk kita semua. Bagaimana industri bisa melakukan surveillance dan melakukan re-interception apabila ada miss pricing yang kemudian mempunyai dampak luas,” ujarnya.
Namun demikian, Tiko menekankan bahwa tantangan yang tengah dihadapi industri asuransi merupakan pelajaran bagi semua pihak. Dia meminta agar semua pihak, mulai dari regulator, asosiasi, hingga industri, mulai berbenah diri agar industri asuransi menjadi lebih sehat dan stabil ke depan.
Ketiga, kekuatan modal. Tiko menyandingkan hal ini dengan industri perbankan yang memiliki rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) pada level 20 persen. Regulator, dalam hal ini OJK, telah mewajibkan setiap perbankan untuk memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 triliun hingga akhir 2022 untuk bank umum dan bank pembangunan daerah pada 2024.
“Saya rasa ini adalah sesuatu hal yang perlu dilakukan industri asuransi untuk memastikan bahwa kesehatan industri, baik di depan [asuransi] maupun di belakang [reasuransi] untuk mampu meng-cover berbagai risiko masa depan. Langkah di industri perbankan nantinya diharapkan bisa mulai berjalan di asuransi juga,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel