Alert! IMF: Ekonomi Global Bisa Rugi Rp6.100 Triliun Akibat Resesi

Bisnis.com,10 Okt 2022, 08:20 WIB
Penulis: Feni Freycinetia Fitriani
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyebutkan ekonomi global berisiko mengalami kerugian US$4 triliun setara dengan Rp6.100 triliun (dengan kurs Rp15.200 dolar AS) hingga 2026 akibat resesi.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan situasi perekonomian global menjadi lebih buruk di masa depan.

"Ketidakpastian yang tetap sangat tinggi setelah perang Rusia vs Ukraina dan pandemi Covid-19. Ini memperingatkan mungkin ada lebih banyak guncangan ekonomi," ujarnya di Washington DC, Amerika Serikat seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (10/10/2022).

Kepala "lender of last resort" tersebut berbicara menjelang pertemuan tahunan IMF yang akan berlangsung pada minggu ini.

Termasuk ketika para menteri keuangan dan gubernur bank sentral akan berkumpul di ibu kota AS untuk mencari solusi bagi tantangan global seperti inflasi, rekor utang yang sedang diperjuangkan oleh negara-negara berkembang, perubahan iklim, dan ketahanan pangan.

IMF memperkirakan negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi global akan mengalami setidaknya dua kuartal berturut-turut kontraksi tahun ini atau tahun depan.

“Bahkan ketika pertumbuhan positif, itu akan terasa seperti resesi karena pendapatan riil menyusut dan harga naik,” tambah Georgieva.

IMF saat ini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya 3,2 persen pada 2022 dan 2,9 persen pada 2023. Georgieva mengatakan perkiraan terakhir akan dirilis minggu depan.

Georgieva meminta para pembuat kebijakan untuk tetap berada di jalur demi menurunkan tekanan inflasi sebagai sarana untuk menstabilkan ekonomi.

“Meskipun menyakitkan, ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Bahkan jika ekonomi melambat sebagai hasilnya,” ucapnya.

IMF pun menyadari otoritas moneter dunia tengah dalam persimpangan. Musababnya, ketidaktepatan kebijakan bank sentral dalam merespons indeks harga konsumen (IHK) berisiko makin menggerus ekonomi lebih dalam dan bersifat lebih panjang.

Namun di lain sisi, pengetatan kebijakan moneter terlalu agresif dan cepat dapat mendorong banyak ekonomi ke dalam resesi yang berkepanjangan. Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan yang tepat.

“Prioritasnya adalah menerapkan langkah-langkah fiskal sementara yang menargetkan rumah tangga berpenghasilan rendah, sambil mendukung pasar negara berkembang,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Feni Freycinetia Fitriani
Terkini