Bisnis, BADUNG - Perusahaan asuransi diminta menjaga ketat arus kas (cashflow) seiring meningkatnya peringatan akan perlambatan ekonomi nasional bahkan resesi secara global.
Ketua Umum AAUI Hastanto Sri Margi Widodo mengatakan secara data kuartal II/2022, premi asuransi masih tumbuh. Meski demikian sejumlah indikator dan peringatan dari ekonom harus diperhatikan dengan serius oleh perusahaan asuransi.
"Ada beberapa [nasabah asuransi] yang pembayaran preminya minta dicicil," kata Widodo memberi contoh di sela Indonesia Rendezvous ke-26, Jumat (14/10/2022).
Widodo menuturkan, premi yang dicicil menjadi penanda bahwa arus kas nasabah melambat. Pasalnya, asuransi seringkali menjadi prioritas kedua dalam pembayarannya.
Dia menekankan sejauh ini bisnis masih tumbuh seiring kembali dibukanya pusat perbelanjaan. Melandainya pandemi telah membuat bisnis kembali tumbuh yang pada akhirnya mendorong permintaan asuransi.
Berdasarkan data AAUI, dari 71 perusahaan asuransi umum, premi terkumpul hingga paruh 2022 mencapai Rp46,04 triliun. Naik 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp38,37 triliun.
Meski tumbuh, terdapat tiga premi yang pertumbuhannya negatif yakni personal accident (-29,6 persen), marine haul (-1,1 persen) dan surety ship (-26,9 persen). Sedang 12 lini bisnis lainnya preminya tumbuh.
Dalam kesempatan terpisah, Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 Muhammad Chatib Basri menyebutkan Indonesia tidak akan terseret ke periode resesi saat ekonomi sejumlah negara menunjukkan pelemahan tajam. Dia menilai ekonomi Indonesia hanya akan melambat dan dibutuhkan antisipasi.
“Kalau ditanya apakah Indonesia akan resesi atau tidak, jawaban saya tidak,” ujar Chatib dalam acara BNI Investor Daily Summit 2022 di JCC Senayan, Jakarta.
Sebagai reaksi, kata dia, pemerintah kemungkinan akan melakukan ekspansi fiskal. Namun, situasi saat ini tidak sebaik yang diharapkan lantaran pemerintah telah mematok defisit 3 persen. Akibatnya, pendapatan pemerintah akan berkurang dengan adanya perlambatan ekonomi global dan menurunnya harga komoditas.
“Kita akan melihat kontraksi fiskal,” katanya.
Adanya kontraksi dari kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut, disebut bakal menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan. Pemerintah dalam APBN 2023 telah menetapkan defisit sebesar 2,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau secara nominal defisit Rp598,2 triliun.
Mengutip laman resmi Kementerian Keuangan, Selasa (11/10/2022), defisit APBN telah turun secara bertahap, dari 6,14 persen pada 2020 menjadi 4,57 persen pada 2021. Kemudian dalam Perpres 98/2022 turun menjadi 4,50 persen.
“Dengan kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar yang telah menyebabkan gejolak di sektor keuangan, maka Defisit APBN yang lebih rendah tersebut memberikan potensi keamanan bagi APBN dan perekonomian,” tulis Kemenkeu.
Atas kemungkinan konstraksi ekonomi ini, Widodo yang juga Presiden Direktur Asuransi Bintang (ASBI) itu menyebutkan industri akan melakukan penyesuaian model bisnis.
Dia menuturkan, perlambatan pertama kali akan terjadi perlambatan premi dari bisnis ritel. Selanjutnya baru bergerak ke penyumbang pendapatan lebih besar.
Widodo menyebutkan perusahaan anggota AAUI harus memastikan ketersediaan kas. "Cashflow harus positif," katanya.
Sedangkan langkah selanjutnya, setiap perusahaan asuransi menerima premi, underwriting harus dilakukan dengan matang yakni mengukur besaran kemampuan perusahaan menanggung risiko. "Maka risiko harus ditransfer [ke reasuransi atau co-asuransi untuk antisipasi]," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel