Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun ini genap berusia delapan tahun. Sewindu sudah Walikota Solo 2005-2012 dan Gubernur DKI Jakarta 2012-2014 mengawal perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya laju pertumbuhan kredit perbankan.
Selama masa pemerintahan Jokowi, kredit perbankan bergerak seperti roller coaster. Pada awal pemerintahannya atau 2014, penyaluran dana perbankan tumbuh 11,4 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp3.702,2 triliun. Kemudian pada dua tahun berikutnya melambat menjadi 9,6 persen yoy dan 7,9 persen yoy.
Pada 2015 melambatnya kredit perbankan seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL). Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,79 persen sepanjang tahun 2015, melambat atau lebih rendah dibandingkan tahun 2014 sebesar 5,02 persen. Hal ini salah satunya disebabkan oleh jatuhnya harga komoditas perkebunan dan pertambangan pada periode 2013–2015.
Kemudian pada 2017pertumbuhan kredit bank kembali menguat menjadi 8,2 persen yoy. Secara makro, perekonomian Indonesia pada 2017 belum sepenuhnya stabil. Akan tetapi kredit konsumsi menjadi tulang punggung industri, saat pertumbuhan kredit investasi masih mengalami kontraksi.
Tahun berikutnya atau 2018 merupakan titik balik pertumbuhan kredit perbankan, di mana kembali naik dua digit, yakni 11,8 persen yoy. Akselerasi kinerja bank seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang menguat menjadi 5,17 persen dari 5,07 persen pada tahun sebelumnya.
Dalam laporan Bank Indonesia kala itu, pertumbuhan ekonomi 2018 didorong oleh permintaan domestik yang kuat. BI mencatat pertumbuhan permintaan domestik mencetak rekor sejak 2012.
Setelah suka cita, pertumbuhan kredit bank pada tahun berikutnya ambruk. Data OJK menunjukan penyaluran dana dari perbankan hanya mampu terkerek 6,1 persen yoy, jauh dari target OJK 9–10 persen yoy.
Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK saat itu menjelaskan penyebab pertumbuhan kredit bank merosot adalah banyak korporasi di dalam negeri yang menggunakan sumber pembiayaan offshore. Kenaikan pendanaan asing ini terliat dari pertumbuhan offshore sebesar 133,6 persen yoy jadi Rp133,4 triliun. Hal itu terkonfirmasi oleh kenaikan penerbitan surat utang 15,8 persen menjadi Rp97 triliun.
Menurut Wimboh, bank memilih menggunakan dana valuta asing karena beban biaya dana murah. Dengan kondisi saat itu, rupiah stabil dan bunga yang ditawarkan lebih murah, dia menilai wajar bank domestik kalah saing.
Tahun berikutnya menjadi cobaan terberat bagi pemerintahan Jokowi. Pandemi Covid-19 bersarang dan meluluhlantahkan kegiatan ekonomi. Kredit perbankan untuk pertama kalinya mengalami koreksi setelah krisis 1998.
Permintaan terhadap kredit bank berangsur naik pada 2021, seiring dengan kembali bergeraknya roda perekonomian. Kredit perbankan pada tahun lalu naik 5,2 persen yoy didorong kredit konsumsi, UMKM, dan korporasi.
Sejak Januari 2022, pertumbuhan kredit bank bisa diblang dalam tren positif. Per Agustus 2022, pertumbuhannya kembali mencapai dua digit atau 10,3 persen yoy menjadi Rp6,155,9 triliun.
Kendati demikian sejumlah ekonom memproyeksikan pertumbuhan kredit bank akan ditutup pada level sekitar 9 persen tahun ini. Sementara itu, Bank Indonesia optimistis pertumbuhan kredit tahun ini akan mencapai 9–11 persen yoy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel