Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo hingga Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) Jahja Setiaatmadja buka suara soal dampak dari resesi global yang diperkirakan terjadi pada 2023.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan diproyeksikan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Rendahnya proyeksi tersebut akan diikuti dengan risiko resesi di sejumlah negara.
Melambatnya ekonomi global masih dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan, dan investasi, serta pengetatan kebijakan moneter di negara maju. Efek rambatan ini diprediksi membuat ekonomi di emerging market melambat.
“Revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju terutama Amerika Serikat dan Eropa, serta Tiongkok,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan lalu.
Selain itu, tingkat inflasi inti dan global juga diperkirakan masih tinggi, seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan dunia sehingga mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif.
Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan lebih tinggi juga akan mendorong mata uang dolar AS semakin kuat, sehingga mendorong depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara termasuk Indonesia.
Perry menyatakan tekanan itu semakin tinggi diiring dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat.
"Negara dengan pasar yang berkembang, seperti Indonesia juga dibebani dengan aliran keluar investasi portofolio asing," jelasnya.
Sementara itu, Presiden Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengatakan BCA sudah meramalkan resesi secara global akan terjadi pada 2023.
Inflasi diperkirakan meninggi, diikuti dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Kondisi ini membuat biaya produksi, khususnya untuk bahan baku impor, meningkat.
“Kondisi-kondisi ini menyebabkan production cost pasti meningkat bagi para nasabah kami yang produsen,” ujarnya dalam konferensi pers paparan kinerja kuartal III/2022 BCA, baru-baru ini.
Meski demikian, Jahja menyatakan perkiraan naiknya biaya produksi tidak serta-merta ditransformasikan pada harga jual mengingat daya beli masyarakat belum terlalu memadai bagi individu yang selama ini bekerja.
“Ini menyebabkan produsen tidak semena-mena bisa menaikkan harga begitu mudah. Apakah sedikit-sedikit dinaikkan atau ada yang belum berani menaikkan, tetapi ada juga yang mengubah ukuran packaging untuk mengompensasi kenaikan biaya. Itu yang bisa terjadi,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel