Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai kebijakan terburuk sepanjang masa karena merugikan semua pihak.
Dia mengatakan masalah kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu tak terlepas dari larangan pemerintah mengekspor CPO dan turunannya.
Faisal yang menjadi salah satu saksi ahli penggugat dalam sidang gugatan terhadap Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur yang diselenggarakan 13 dan 23 Oktober 2022.
“Sebobrok-bobroknya pemerintah pasti bikin kebijakan ada yang diuntungkan ada yang dirugikan, ini enggak ada. Dirugikan semua. Pemerintah rugi, pengusaha dirugikan, rakyatnya dirugikan, dan petaninya dirugikan,” ujar dia dalam keterangan pers, Selasa (25/10/2022).
Faisal mengatakan seharusnya pemerintah dalam menentukan kebijakan berdasarkan analisis dampaknya.
“Jadi sebelum mengambil kebijakan kan bisa dihitung, dampaknya siapa yang diuntungkan dan dirugikan bisa dihitung,” tegas Faisal.
Di samping itu, dia mengatakan kebijakan dua harga untuk biodiesel juga menjadi biang kerok, dimana barang (biodiesel) yang sama dan identik namun harganya berbeda (ekspor dan domestik).
“Terkait alokasi CPO dalam negeri, saya melihat adanya persaingan antara CPO untuk Pangan dan CPO untuk Biodiesel. Pemerintah mengutamakan CPO untuk energi dibandingkan pangan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk alokasi CPO ini,” ucap Faisal.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan permasalahan stabilitas harga dan pasokan minyak goreng bersumber sekurang-kurangnya dari tiga hal. Pertama, masalah tata niaga terutama pada saat menghadapi kenaikan harga CPO di pasar internasional.
Pemerintah dalam berbagai argumentasi sering menyalahkan kenaikan harga CPO di tingkat internasional sebagai penyebab terjadinya kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng domestik. Kondisi itu justru menunjukkan adanya masalah pada tata niaga yang terlihat pada saat harga CPO di pasar internasional sedang tinggi.
Saat ini harga CPO internasional telah mengalami penurunan sebesar 22,1 persen (tradingeconomics per 18 Oktober 2022) yang mengakibatkan harga minyak goreng di pasar turun.
“Pertanyaannya jika harga CPO di pasar internasional kembali naik secara signifikan, maka risiko masalah krisis minyak goreng bisa berulang,” ujar Bhima.
Kedua, ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mengendalikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Indonesia sebagai produsen sawit terbesar—pada 2021 produksi CPO sebesar 46,8 juta ton—kebutuhan dalam negeri hanya mencapai 6-7 juta ton atau 14,9 persen dari total produksi.
Idealnya kebutuhan dalam negeri yang relatif kecil mampu diatur oleh Kementerian Perdagangan.
“Ketika harga CPO di pasar internasional naik tinggi, Kementerian Perdagangan tidak melakukan upaya serius dalam menjaga ketersediaan pasokan CPO khususnya untuk industri minyak goreng,” ujar Bhima.
Terakhir, tidak tersedianya data produksi dan konsumsi minyak goreng yang akurat. Tidak adanya akurasi data dalam mengurai sumbatan pada rantai pasok minyak goreng menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel