Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Fintech Society (IFSoc) menyampaikan sejumlah urgensi terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) alias omnibus law keuangan.
Ketua Steering Committee IFSoc Rudiantara mengungkapkan bahwa UU dalam sektor keuangan sudah kurang relevan dalam merespons perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga diperlukan pengaturan berbasis aktivitas agar mencapai keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen.
Selain itu, Rudiantara menyampaikan perkembangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks juga diperlukan penguatan koordinasi dalam pengawasan lembaga jasa keuangan (LJK) hingga melebarnya gap antara inklusi dan literasi keuangan di Indonesia.
“Dalam konteks omnibus law ini, kami fokus pada dua aspek, yaitu mendorong pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan layanan keuangan agar sustainable dan berfokus pada perlindungan pelanggan,” kata Rudiantara dalam media briefing ‘RUU PPSK: Membangun Fondasi Kebijakan Fintech yang Sustainable’ secara daring, Kamis (27/10/2022).
Dari sisi inklusi keuangan misalnya, Rudiantara menyoroti indeks inklusi keuangan Indonesia terus meningkat, akan tetapi masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.
Berdasarkan Global Findex dari World Bank (2021), indeks inklusi keuangan di Indonesia mencapai 51,8 persen, lebih tinggi dari kawasan ASEAN di angka 50,6 persen. Namun, nilai itu lebih rendah jika dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah ke bawah yang memiliki indeks inklusi keuangan mencapai 62,4 persen.
Untuk mendukung inklusi keuangan, lanjutnya, Indonesia memiliki peluang terhadap perkembangan layanan fintech, mengingat proyeksi kontribusi ekonomi digital Indonesia mencapai 17 persen terhadap PDB pada 2030. Meski demikian, fintech harus tetap dibarengi dengan memperhatikan mitigasi risiko.
Secara jumlah dan proporsi, penyelenggara fintech di Indonesia didominasi oleh pemain pinjaman online, pembayaran digital, inovasi keuangan digital, wealth management, dan lainnya.
Adapun, jumlah akumulasi penyaluran pinjaman dan outstanding pinjaman fintech lending dari Januari – Agustus 2022 telah mencapai Rp436,12 triliun. Diikuti dengan jumlah investor yang paling banyak pada Agustus 2022 adalah instrumen reksa dana mencapai 8,8 juta investor.
“Meningkatnya jumlah penyelenggara fintech di Indonesia menjadi hal yang penting untuk mendorong peran fintech dalam meningkatkan literasi keuangan dan meningkatkan kualitas fungsi intermediasi keuangan,” tuturnya.
Maka dari itu, IFSoc merekomendasikan agar omnibus law keuangan ini harus dilakukan percepatan pembahasan pengesahan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Khusus di sektor fintech, kata Rudiantara, dibutuhkan payung hukum pengembangan dan penguatan sektor keuangan digital yang lebih adaptif.
“Adaptif terhadap kondisi Indonesia dan juga dinamika yang terjadi di internasional atau global. Kita juga harus menyiapkan suatu transaksi keuangan menggunakan teknologi yang sifatnya crossborder,” sambungnya.
Dia menekankan agar RUU P2SK harus diarahkan untuk mengecilkan kesenjangan inklusi dan literasi keuangan, serta diarahkan untuk memperkuat aspek perlindungan konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel