Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu didukung untuk terus meningkatkan kegiatan edukasi dan literasi masyarakat dalam mendorong perlindungan konsumen. Semakin baik literasi masyarakat, maka akan semakin terlindungi dari pelaku kejahatan keuangan.
Guru Besar FEB UI Prof. Dr. Budi Frensidy mengatakan, setidaknya ada tiga bagian kegiatan yang perlu menjadi perhatian OJK dalam melindungi konsumen, yaitu dari sisi pencegahan, pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement).
“Sekarang pelaku kejahatan produk keuangan cepat sekali bergerak. Melalui website dan sosial media. Keuntungan yang ditawarkan sangat menggiurkan. Untuk masyarakat yang sudah teredukasi tidak akan terpengaruh, tetapi yang belum teredukasi harus dilindungi dengan memblokir akun tersebut,” jelas Budi Frensidy dalam keterangan resmi, Kamis (3/11/2022).
Kegiatan pencegahan, diawali melalui edukasi dan meningkatkan literasi masyarakat terhadap produk keuangan, sehingga masyarakat dapat bijaksana dalam memilih produk keuangan yang akan dibeli atau menjadi tempat investasi.
Adapun, perlindungan konsumen, diatur dalam Pasal 4 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK yang mengamanatkan OJK sebagai pengawas dan regulator sektor jasa keuangan dan sejumlah pihak terkait untuk terus melakukan upaya melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan.
OJK meluncurkan sejumlah infrastruktur literasi keuangan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat, yaitu Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) 2021- 2025, Learning Management System (LMS) Edukasi Keuangan, serta Buku Saku Literasi Keuangan bagi Calon Pengantin.
Setelah melalui serangkaian kegiatan edukasi, OJK mengumumkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022. Hasil SNLIK terbaru ini menunjukkan adanya peningkatan indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat.
Hasil SNLIK 2022 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Nilai ini meningkat dibanding hasil SNLIK 2019, yaitu indeks literasi keuangan 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.
Budi Frensidy mengatakan walau telah didukung sejumlah regulasi, tantangan yang dihadapi dalam melindungi konsumen masih sangat besar karena kejahatan keuangan masih banyak ditemui, antara lain manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan.
Untuk itu, OJK diharapkan dapat terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap perlindungan konsumen, serta mendorong peningkatan edukasi di masyarakat melalui berbagai program, termasuk mengoptimalkan pengawasan market conduct yang lebih ketat kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK).
Program edukasi, tidak cukup bersifat konvensional, tetapi program edukasi kepada masyarakat memang harus dilakukan secara masif, baik melalui kampanye nasional, maupun kerja sama dengan sekolah dan komunitas yang menyentuh hingga level rumah tangga.
“Kegiatan edukasi tidak bisa lagi hanya edukasi konvensional, melewati press release atau media internal regulator. Namun, memang harus masuk ke tempat kerja, organisasi kemasyarakatan, dan ke sekolah-sekolah,” lanjutnya.
OJK juga meningkatkan perlindungan konsumen melalui mekanisme pengaduan. Kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat utilitas dan kepercayaan masyarakat, serta konsumen terhadap lembaga dan produk jasa keuangan di Indonesia (financially well-literate).
Budi Frensidy mengemukakan dari sisi penegakan hukum (law enforcement) membutuhkan koordinasi dengan banyak pihak, mulai dari Kementerian Informasi dan Komunikasi hingga aparat keamanan dan penegak hukum.
Koordinasi kuat juga memerlukan tindakan tegas, antara lain memblokir dan mem-black list, serta mengumumkan nama-nama personal yang terbukti melakukan kejahatan transaksi keuangan di media pemerintah dan media massa, bukan nama lembaganya saja.
“Kemudian, penindakan law enforcement itu. Berikutnya tawaran produk baru tidak masuk akal, itu harus cepat diawasi. Jika bodong langsung ditutup. Penindakan hukum membutuhkan dukungan dari lembaga lain dari sisi tindakan,” jelas Budi Frensidy.
Data Satgas Waspada Investasi (SWI) menunjukkan sejak tahun 2018 hingga September 2022 ini, jumlah platform pinjaman online ilegal yang telah ditutup mencapai 4.265 platform.
SWI menyebutkan temuan ini merupakan upaya pencegahan dan penanganan sebelum adanya pengaduan dari korban berdasarkan crawling data (pemantauan aktivitas penawaran investasi yang sedang marak di masyarakat melalui media sosial dan website) yang dilakukan melalui big data center aplikasi waspada investasi.
Perlindungan konsumen melalui mekanisme pengaduan yang dilakukan OJK juga bertujuan untuk meningkatkan tingkat utilitas dan kepercayaan masyarakat, serta konsumen terhadap lembaga dan produk jasa keuangan di Indonesia (financially well-literate).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel