Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu menentukan formula baru yang lebih baik untuk iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan khususnya bagi pemberi kerja.
Peneliti riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Ari Wibowo menyebutkan berdasarkan riset terkait jaminan kesehatan nasional (JKN) yang baru saja dirampungkan INFID, puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) belum berfungsi optimal khususnya dalam upaya promotif-preventif, sehingga memberi beban berlebih terhadap Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Di samping itu, Ari menyampaikan bahwa JKN juga belum efektif dalam memenuhi prinsip Universal Health Coverage (UHC).
“Masih terjadi kelemahan validasi data peserta yang membuka peluang praktik pemalsuan data bagi penerima bantuan iuran [PBI] BPJS Kesehatan,” ujar Ari dalam keterangan tertulis, Senin (7/11/2022).
Dia juga menyoroti penagiham iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah untuk memberikan peringatan atau sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar. Selain itu, imbuhnya, BPJS juga perlu melakukan pengawasan berkala regional pada saat dan untuk re-credentialing, khususnya bagi fasilitas kesehatan yang berpotensi melakukan fraud.
Adapun, dari segmen pekerja penerima upah (PPU), tidak semua badan usaha mendaftarkan pekerjanya dalam program JKN akibat belum adanya mekanisme pemberian sanksi. Tak hanya itu, kenaikan besaran iuran bagi segmen pekerja informal atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) serta rencana iuran yang seragam, yaitu Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) juga berpotensi memperlambat pencapaian target kepesertaan JKN.
Senior Program Officer SDGs INFID Bona Tua mengatakan dana abadi iuran bagi peserta PBI diperlukan untuk mencapai cakupan peserta JKN BPJS Kesehatan. Menurutya, dana ini bisa melalui optimalisasi sin tax, Silpa atau alokasi khusus APBN untuk Sovereign Wealth Fund.
“Dana abadi yang dipupuk ditujukan untuk jaminan iuran untuk UHC [Universal Health Coverage], bukan untuk peningkatan kualitas atau perluasan layanan kesehatan BPJS kesehatan,” katanya.
Timboel Siregar dari BPJS Watch menilai riset yang dilakukan INFID dapat menjadi masukan atau bagian dari naskah akademik untuk pemerintah, khususnya dalam merevisi Perpres 64 dan Perpres 82/2018. Selain itu, dia memandang bahwa kepesertaan menjadi salah satu core dalam problem BPJS.
Timboel mencatat, per 31 Agustus 2022, cakupan kepesertaan program JKN mencapai 243.282.029 peserta atau 88,83 persen dari total penduduk Indonesia. Meski demikian, sebanyak 88,83 persen peserta yang sudah membayar iuran. Di sisi lain, peserta yang tidak aktif membayar atau belum mendaftar belum mendapatkan layanan.
“Dari realisasi yang kita temukan, hanya 90 jutaan, dan banyak yang non-aktif. Kemudian, terdapat 17 juta yang tidak aktif tidak bisa dikatakan sebagai peserta. Sehingga, menurut saya, hanya 70 jutaan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel