Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit macet atau non-performing loan (NPL) di industri financial technology (fintech) lending mencapai Rp1,49 triliun per September 2022 atau naik 9,55 persen secara bulanan (month-to-month). Sebagai gambaran, pada bulan sebelumnya, kredit macet fintech lending mencapai Rp1,36 triliun.
Berdasarkan data Statistik Fintech Lending periode September 2022 yang dirilis awal November 2022, kredit macet itu sendiri terdiri dari pinjaman online perorangan sebesar Rp1,32 triliun dan di bidang usaha sebesar Rp169,58 miliar.
Berdasarkan data yang Bisnis rangkum pada Selasa (8/11/2022), pinjaman perseorangan kredit macet didominasi oleh nasabah berjenis kelamin laki-laki dengan nilai outstanding pinjaman sebesar Rp666,13 miliar. Sedangkan nasabah perempuan mencapai Rp660,93 miliar.
Selanjutnya, jika ditinjau berdasarkan usia, nasabah di rentang umur 19 – 34 tahun paling banyak mengalami kredit macet dengan nilai Rp902,28 miliar.
Sementara itu, nasabah dengan rentang usia 35 – 54 tahun mencatat kredit macet sebesar Rp396,9 miliar dan nasabah di atas 54 tahun sebesar Rp24,99 miliar, serta nasabah dengan usia di bawah 19 tahun mencatatkan kredit macet sebesar Rp2,9 miliar.
Dengan demikian, secara total outstanding pinjaman, kredit fintech lending per September 2022 tercatat sebesar Rp48,73 triliun yang terdiri dari perorangan sebesar Rp41,11 triliun dan badan usaha Rp7,62 triliun.
Adapun dari sisi kinerja keuangan penyelenggara fintech lending, OJK menyampaikan tingkat keberhasilan bayar atau TKB90 industri fintech lending sebesar 96,93 persen. Di sisi lain, TWP90 di fintech berada di angka 3,07 persen.
Selanjutnya, return on asset (ROA), return on equity (ROE), dan beban operasional dan pendapatan operasional (BOPO) dalam penyelenggara fintech lending masing-masing mencapai -2,76 persen, -4,98 persen, serta 100,80 persen per September 2022.
Di samping itu, OJK juga melaporkan jumlah beban operasional industri fintech lending sebesar Rp6,31 triliun sedangkan pendapatan operasional mencapai Rp6,26 triliun.
Sanksi Pidana Bagi Pinjol Illegal
Sementara itu dalam konferensi pers bertajuk ‘4th Indonesia Fintech Summit & Bulan Fintech Nasional 2022' kemarin, Otoritas Jasa Keuangan mengusulkan sanksi pidana khusus bagi penyelenggara financial technology peer–to–peer landing (fintech p2p) ilegal atau pinjaman online (pinjol) ilegal ke dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) alias omnibus law keuangan.
Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono Gani mengatakan bahwa usulan penambahan sanksi pidana khusus tersebut berangkat dari keluhan masyarakat akan semakin maraknya pinjol ilegal di Indonesia. Untuk itu,kata Triyono, OJK mengusulkan sanksi pidana yang cukup berat untuk pelanggar pinjol ilegal.
“Kami sudah menitipkan sanksi pidana yang cukup berat, mudah-mudahan ini bisa berhasil masuk ke UU PPSK. Mudah-mudahan ini bisa menjadi efek jera, sehingga pelanggar-pelanggar yang mengatasnamakan keuangan digital bisa jera dan menghindari penipuan-penipuan yang dilakukan di industri jasa keuangan. Mudah-mudahan ini efektif,” ujar Triyono, Senin (7/11/2022).
Dengan mengacu pada riset yang dilakukan OJK, Triyono menyampaikan bahwa pihaknya menemukan tidak ada pidana khusus terkait dengan pelaksanaan sektor keuangan atau layanan jasa keuangan secara ilegal. Maka dari itu, pihaknya mendorong untuk mengusulkan sanksi pidana dalam omnibus law keuangan.
“Saya tidak bisa ngomong besaran [pidana], tapi cukup signifikan. Paling tidak sejajar dengan pidana yang dilakukan di sektor keuangan di bidang lain. Ini mudah-mudahan bisa menjadi efek jera dan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan layanan keuangan digital,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel