Bisnis.com, JAKARTA – Resesi global nampaknya akan membuat industri teknologi finansial (fintech) pendanaan bersama (peer-to-peer atau p2p lending) alias pinjol mengalami lonjakan terhadap rasio kredit macet atau non-performing loan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko membenarkan bahwa industri fintech berpotensi mengalami peningkatan rasio kredit macet.
“Kami tidak menampik bahwa rasio NPL [pinjaman macet fintech] berpotensi mengalami peningkatan di tengah situasi global dan kemungkinan terjadinya resesi di masa mendatang,” kata Sunu kepada Bisnis, Selasa (8/11/2022).
Sunu menyampaikan AFPI menaruh perhatian lebih terhadap fenomena ini untuk menjaga kepercayaan para lender. Sebagai asosiasi, Sunu menyatakan AFPI berkomitmen untuk membangun industri fintech pendanaan yang kredibel untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Adapun, AFPI telah merancang strategi untuk mengatasi bayang-bayang kredit macet dari beberapa penyelenggara.
“Saat ini kami sedang menganalisis lewat studi internal, apakah beberapa platform dengan kredit macet tinggi memiliki pengaruh terhadap industri secara keseluruhan, alias apakah ada efek pareto atau tidak,” ujarnya.
Sekadar informasi, kredit macet fintech lending terpantau terus merangkak naik. Berdasarkan data Statistik Fintech Lending yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan yang dirilis pada Selasa (1/11/2022), kredit macet di industri fintech lending mencapai Rp1,49 triliun per September 2022.
Sebagai gambaran, pada posisi Agustus 2022, kredit macet fintech lending hanya bernilai Rp1,36 triliun. Artinya, kredit macet di pinjol naik 9,8 persen secara bulanan (month-to-month) dari posisi Agustus 2022 menuju September 2022.
Meski mengalami kenaikan, Sunu melihat bahwa rasio kredit macet di industri fintech pendanaan sejauh ini masih dalam kategori aman. Menurutnya, jika melihat tingkat keberhasilan bayar pada (TKB90) pada September 2022, angkanya terjaga di kisaran 96,93 persen. Artinya, ungkap Sunu, TWP90 di kisaran 3,07 persen yang mana ini cukup baik, meski ada sedikit peningkatan dari bulan sebelumnya.
Di sisi lain, Sunu memandang pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama 3 tahun belakangan ini juga mengakselerasi pemanfaatan teknologi digital masyarakat, termasuk di sektor keuangan mampu meningkatkan penetrasi fintech pendanaan di Indonesia. Imbasnya, seiring dengan kondisi tersebut, NPL juga akan cenderung naik ketika terjadi penambahan jumlah penyaluran dan pertumbuhan jumlah borrower secara signifikan.
Hal ini bisa terlihat dari kondisi penyaluran pendanaan yang terus bertumbuh sejak industri fintech hadir. Pada 2018 misalnya, Sunu merincikan penyaluran pendanaan oleh industri fintech pendanaan masih sebesar Rp20 triliun. Performa penyaluran ini terus berkembang menjadi Rp58 triliun pada 2019, Rp73 triliun pada 2020, dan Rp155 triliun pada 2021.
Tak hanya itu, per September 2022, kinerja penyaluran pendanaan sudah mencapai Rp168,32 triliun, dengan 102 penyelenggara, yang disalurkan kepada 90,21 juta borrower dan 960.396 lender.
ANCANG-ANCANG KREDIT MACET
Terkait potensi kenaikan kredit macet di pinjol, AFPI juga telah mengembangkan Fintech Data Center (FDC) yang mengintegrasikan data antara penyelenggara satu dengan lainnya.
Dalam hal ini, Sunu menjelaskan FDC digunakan untuk menghindari terjadinya fraud, mencegah pinjaman berlebih, termasuk untuk mengetahui status kelancaran pinjaman saat ini dan kualitas pembayaran pada pinjaman sebelumnya. Dengan demikian, AFPI dapat mengantisipasi kredit macet.
“Berbekal akumulasi dari FDC tersebut, AFPI juga tengah melakukan kajian untuk memastikan penyebab dari kredit macet tersebut. Jadi, asosiasi tetap ambil ancang-ancang lewat studi data FDC secara holistik. Hasilnya nanti, AFPI akan memberikan masukan kepada para pemain. Misalnya, apakah harus ada risk acceptance yang lebih ketat, atau memang harus ada restrukturisasi terhadap borrower tertentu, dan lain-lain,” terangnya.
Selain itu, AFPI juga telah menggandeng mitra penyediaan tanda tangan elektrik dan e-Materai bagi perusahaan fintech pendanaan yang menjadi anggota AFPI. Sunu menuturkan, dengan proses electronic know your customer (e-KYC) tanda tangan, maka diharapkan bisa mengurangi tingkat fraud atau penipuan yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, sejumlah tersebut bisa memperkecil potensi terjadinya kredit macet atau TWP90. Hal lain yang tengah AFPI lakukan saat ini adalah mempersiapkan algoritma kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“AI ini akan dimanfaatkan untuk dapat meningkatkan kualitas penilaian kredit atau credit scoring, guna mengukur risiko kredit dari calon peminjam yang sebelumnya tidak memiliki riwayat pinjaman kredit. Semua ini adalah upaya yang telah dan sedang kami bangun untuk menjaga kualitas penyaluran pinjaman dari lender agar tetap sehat dan terjaga,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel