Bisnis.com, JAKARTA – Pekerja atau buruh menolak dengan tegas usulan pengusaha soal no work no pay (tidak bekerja tidak dibayar) karena dengan kata lain melegalkan upaya pengusaha yang enggan membayar upah pekerja yang dirumahkan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar menekankan bahwa no work no pay telah diatur dalam pasal 93 ayat 1 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Bunyinya, upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Jadi pointnya no work no pay kalau pekerja tidak mau kerja. Di luar ketentuan tersebut pekerja yang tidak boleh kerja harus tetap dibayar,” ujar Timboel, Kamis (10/11/2022).
Dalam ketentuan tersebut, contoh pekerja yang tidak boleh bekerja, tapi tetap dibayar seperti pekerja/buruh yang sakit, melaksanakan hak istirahat, sakit pada hari pertama dan kedua haid.
Selain itu, pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha juga tetap harus dibayar.
Menurut Timboel, apabila dalam kondisi ancaman resesi saat ini dan pengusaha mau merumahkan, maka sesuai ketentuan perusahaan tetap membayar upah dan iuran seluruh program jaminan sosial agar pekerja tetap terlindungi.
Sekalipun jalan terakhir harus melakukan PHK dan terjadi perselisihan, menurut pasal 157A UU Cipta Kerja, maka perusahaan pun harus tetap membayar upah sampai adanya putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap.
“Selama ini pengusaha yang merumahkan pekerja tanpa dibayar upah adalah sebuah pelanggaran dan ini dibiarkan pemerintah. Saya kira permintaan adanya permenaker tentang no work no pay oleh pengusaha adalah agar upaya merumahkan tanpa membayar upah menjadi legal,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusah Indonesia (Apindo) Anton J. Supit mengusulkan kepada Komisi IX DPR untuk mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay.
“Masalah PHK ini menurut kami itu sangat serius, jadi harus antisipasi. Oleh karena itu bisa nggak dipertimbangkan, yaitu harapan kami agar ada satu Permenaker yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay,” kata Anton saat Rapat Kerja Kemenaker bersama Komisi IX DPR, Selasa (8/11/2022).
Di tengah ancaman resesi dan badai PHK, sektor industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki mulai terpengaruh dengan penurunan order hingga 50 persen. Beberapa perusahaan pun telah melaporkan adanya PHK.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat selama periode Januari-September 2022, ada 10.765 orang yang terkena PHK.
“Dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen kita nggak bisa menahan, 1-2 bulan masih oke, tetapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun saya kira pilihannya ya memang harus PHK massal,” ujar Anton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel