Target Produksi Minyak 1 Juta Barel, RI Butuh Investasi Rp2,8 Kuadriliun

Bisnis.com,23 Nov 2022, 13:03 WIB
Penulis: Jaffry Prabu Prakoso
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto ditemui di sela acara 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 di Badung, Bali, Rabu (23/11/2022)/Bisnis-Jaffry Prabu Prakoso

Bisnis.com, BADUNG – Indonesia memiliki visi memproduksi minyak 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (Bscfd) pada 2030. Target ambisius ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.

“Untuk mencapai target jangka panjang tersebut, kami perkirakan industri hulu migas [minyak dan gas] membutuhkan investasi sebesar US$179 miliar [Rp2,8 kuadriliun konversi kurs Rp15.704],” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto dalam acara '3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022' di Badung, Bali, Rabu (23/11/2022).
 
Dwi menjelaskan bahwa investasi jumbo dengan partisipasi aktif dari pelaku domestik dan internasional diperlukan untuk menggali potensi migas di Indonesia. Pemerintah pun membuat beberapa strategi.
 
Strateginya, yakni mengoptimalkan produksi lapangan yang ada, transformasi sumber daya kontingen menjadi produksi, mempercepat enhanced oil recovery (EOR) kimiawi, mendorong kegiatan eksplorasi migas, serta percepatan peningkatan regulasi melalui one door service policy (ODSP), dan insentif hulu migas.
 
Target produksi migas dengan dana yang besar karena Indonesia diprediksi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 dunia pada 2030. 
 
Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, imbuh Dwi, Indonesia butuh lebih banyak energi. Pada saat yang sama, energi terbarukan bakal memainkan peran penting di masa depan.
 
“Namun, kami masih perlu memaksimalkan nilai sumber daya minyak dan khususnya gas kami untuk memastikan keamanan dan keterjangkauan energi di kawasan ini sambil memenuhi ambisi emisi nol bersih,” jelasnya. 
 
Di tengah upaya mengejar target, industri migas global pun berada dalam masa yang sangat dinamis dan penuh tantangan. Dwi menuturkan bahwa situasi geopolitik dan ekonomi global saat ini menyebabkan gangguan pasokan energi dan pangan. Mau tidak mau, kondisi ini memicu kenaikan harga. 
 
“Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ancaman inflasi dan krisis ekonomi dan energi. Dengan demikian, ketahanan energi merupakan isu penting untuk dibahas,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Denis Riantiza Meilanova
Terkini