Bisnis.com, BANDUNG —PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) optimistis sektor properti dalam negeri dapat tetap tumbuh positif pada 2023 meski terdapat ketidakpastian ekonomi pada 2023.
Haru Koesmahargyo, Direktur Utama BTN optimistis bank pelat merah bersandi saham BBTN itu mampu menyalurkan kredit perumahan, terutama untuk rumah subsidi yang lebih stabil. Dia menilai bahwa tidak perlu mengkhawatirkan ketidakpastian ekonomi global yang dibayangi resesi, namun harus tetap waspada.
“Kami optimistis permintaan perumahan, terutama untuk rumah subsidi akan masih tinggi pada tahun mendatang. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah yang terus meningkatkan alokasi anggaran subsidi untuk sektor perumahan,” kata dalam acara Forum Group Discussion (FGD) dan Media Gathering Bank BTN 2022 bertajuk “Optimisme Pembiayaan Rumah Rakyat di Tengah Resesi Global” di Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/11/2022).
Selain itu, rasa optimistis itu juga didasari atas fakta masih tingginya backlog perumahan di Indonesia yang mencapai 12,7 juta unit berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021. Backlog adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.
Haru menilai, semakin banyaknya backlog perumahan, maka target program satu juta rumah sudah tidak relevan lagi. Untuk itu, dia menilai diperlukan target yang lebih besar lagi, salah satunya seperti Program 10 juta rumah. Dengan demikian, backlog perumahan sudah bisa teratasi pada 2045.
Tercatat, pada 2022, pemerintah melalui Kementerian PUPR telah mengalokasi dana subsidi perumahan dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) senilai Rp23 triliun untuk pembiayaan 200.000 unit rumah subsidi. Hal ini masih ditambah dengan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) senilai Rp888,46 miliar untuk 22.586 unit rumah.
Sementara itu, pada 2023 total target penyaluran bantuan subsidi perumahan sebanyak 274.924 unit senilai Rp34,17 triliun yang bersumber dari APBN sebesar Rp29,53 triliun dan dana masyarakat Rp4,64 triliun. Sedangkan untuk KPR FLPP pemerintah menaikkan dana subsidi menjadi sebanyak 220.000 unit.
Adapun pada 2023, Haru memeproyeksikan terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi perbankan, mulai dari kenaikan suku bunga acuan hingga kebijakan restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak Covid-19 akan berakhir pada Maret 2023.
Tak hanya itu, perbankan juga akan menghadapi tantangan terkait dengan kebijakan giro wajib minimum (GWM), aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), dan Countercyclical Buffer yang mensyaratkan perbankan untuk memperkuat profitabilitas, permodalan dan kualitas bsinis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel