Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini, pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK). Salah satu isu yang menarik perhatian, khususnya bagi perbankan syariah, adalah klausul mengenai kewajiban pemisahan unit usaha syariah (UUS) dari induknya bank umum konvensional (BUK).
Di mana, dalam RUU P2SK tersebut dinyatakan bahwa BUK yang memiliki UUS dengan nilai aset telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya, wajib memisahkan (spin-off) UUS-nya menjadi bank umum syariah (BUS).
Menarik, karena klausul persyaratan spin-off ini dinilai melonggarkan kewajiban spin-off sebelumnya, yang diatur dalam UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
UU 21/2008 menyebutkan, BUK wajib melakukan spin-off UUS-nya apabila nilai aset UUS yang dimilikinya telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya UU 21/2008.
Dihilangkannya klausul “atau 15 tahun sejak berlakunya UU 21/2008” berarti membebaskan BUK yang telah memiliki UUS untuk memenuhi kewajiban spin-off pada tahun 2023 (15 tahun sejak berlakunya UU 21/2008).
Namun, kita memang harus melihat realitas. Perkembangan perbankan syariah masih terbatas, terbatasi pula oleh pertumbuhan bisnis syariah yang juga lambat. Padahal, perbankan syariah tidak dapat dilepaskan dari ekosistem bisnis syariah. Perlu Juli 2022, pangsa aset perbankan syariah (BUS dan UUS) baru mencapai 6,82% dari total aset perbankan.
Potensi bisnis syariah Indonesia besar, tetapi realisasinya masih jauh. Padahal, filosofi bisnis perbankan adalah ‘money follows business’. Kalau bisnis syariahnya tidak ada, bagaimana mungkin bank syariah akan mengikutinya?
Konsolidasi
Pola pengembangan perbankan syariah sesuai pasar, bagus secara bisnis. Namun, apabila sepenuhnya diserahkan pada pasar, tidak ada jaminan akselerasi pertumbuhan dapat terjadi.
Oleh karenanya, tetap diperlukan percepatan pertumbuhan secara non-organik (in-organic) yang antara lain berupa dorongan dari UU maupun regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seperti apa dorongan yang dibutuhkan tersebut?
Pertama, klausul yang mensyaratkan BUK yang memiliki UUS dengan nilai aset telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya wajib melakukan pemisahan (spin-off) UUS tidak akan efektif mendorong pertumbuhan BUS. Kecil kemungkinan klausul itu akan dipenuhi BUK. BUK akan lebih menikmati pola UUS dalam mengembangkan bisnis syariahnya.
Di sisi lain, BUS diperlukan untuk menjaga kemurnian penerapan prinsip-prinsip syariah dalam bisnis perbankan syariah. Alternatifnya, mengurangi porsi aset UUS yang wajib di-spin-off, dari 50% menjadi 20% atau 30%.
Kedua, pertumbuhan BUS yang didorong adalah BUS yang akan memiliki skala bisnis yang memberikan dampak signifikan bagi industri. Kita menyambut gembira kehadiran Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai BUS dengan size besar.
Namun, kita baru memiliki satu BUS dengan size besar seukuran BSI. Kita masih memerlukan beberapa BUS lain sekelas BSI untuk menciptakan kompetisi berimbang sekaligus mengakselerasi pertumbuhan. Setidaknya, kita masih memerlukan 2 hingga 3 BUS baru seukuran BSI untuk mempercepat peningkatan pangsa perbankan syariah.
Saat ini, BUS existing yang memiliki peluang menjadi anchor bank dan berpeluang menjadi kompetitor yang sepadan bagi BSI belum banyak. Salah satu BUS yang berpeluang adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Dengan masuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai pemegang saham pengendali (PSP) sejak tahun lalu, BMI memiliki peluang menjadi lokomotif baru bagi konsolidasi perbankan syariah setelah BSI.
Ketiga, adalah konsolidasi melalui merger antar-UUS. Melalui strategi ini, BUK induk didorong untuk melakukan merger terhadap UUS-nya. Saat ini, masih banyak BUK yang memiliki UUS, baik bank swasta maupun BPD. Kalau merger antar-UUS dapat didorong, setidaknya dapat terbentuk dua BUS baru dengan modal gabungan yang cukup besar.
Harus diakui, strategi ini masih akan menimbulkan tantangan terkait penetapan PSP-nya. Ini mengingat kekuatan setiap UUS relatif sama sehingga penetapan PSP-nya menjadi lebih komplek. OJK dapat menciptakan insentif bagi BUK pemilik UUS yang bersedia menjadi PSP.
Berdasarkan pertimbangan di atas, penulis berpendapat sebaiknya perkembangan perbankan syariah tidak sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dengan potensi bisnis syariah yang besar, kita perlu mempercepat pertumbuhan perbankan syariah bagi terwujudnya ekosistem ekonomi syariah di Indonesia.
Karenanya, RUU P2SK seyogianya mencerminkan adanya dorongan bagi akselerasi pertumbuhan perbankan syariah, termasuk konsolidasi. Tidak hanya BUS yang didorong konsolidasi, termasuk pula BPR syariah (BPRS). Saat ini, kita memiliki 1.454 BPR konvensional dan 166 BPRS, sangat banyak dan tentu membebani pengawasan OJK.
Dengan demikian, apakah spin-off UUS akan dilakukan secara voluntary maupun mandatory sebaiknya tetap mengakomodasi antara aspek bisnis dan urgensi dorongan bagi akselerasi pertumbuhan dan konsolidiasi perbankan syariah tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel