Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pihak meyakini risiko yang dihadapi industri perbankan masih dapat dikendalikan dengan baik, meski kenaikan suku bunga acuan berpotensi mendorong peningkatan risiko kredit serta menimbulkan tekanan terhadap likuiditas.
Bank Indonesia per November 2022 diketahui kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen. Alhasil, sejak Agustus hingga November 2022, suku bunga acuan bank sentral sudah naik 175 basis poin.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai sejauh ini kinerja perbankan masih terjaga dengan baik, ditopang oleh risiko kredit yang menurun, likuiditas ample, dan permodalan yang masih cukup kuat.
Risiko kredit yang menurun tecermin dari rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) secara net sebesar 0,78 persen dan 2,72 persen secara gross pada Oktober 2022.
Dari sisi likuiditas, rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 130,17 persen serta 29,46 persen. Posisi tersebut jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Sementara itu, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) tercatat meningkat menjadi 25,13 persen per Oktober 2022 atau dari posisi September yang sebesar 25,09 persen.
“Intermediasi perbankan juga masih relatif baik dengan loan to deposit ratio terjaga di level 79,90 persen, kemudian intermediasi juga solid, di mana kredit dan dana pihak ketiga [DPK] masih sama-sama tumbuh,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (6/12/2022).
Perinciannya, kredit perbankan pada Oktober 2022 tumbuh 11,95 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp6.333,51 triliun. Pertumbuhan kredit utamanya didorong oleh kredit investasi yang meningkat sebesar 13,65 persen yoy.
Pada saat bersamaan, DPK perbankan juga mengalami kenaikan sebesar 9,41 persen secara tahunan menjadi Rp7.927 triliun per Oktober 2022 karena didorong oleh peningkatan giro.
Dian menyatakan bahwa dengan realisasi tersebut, OJK meyakini laju penyaluran kredit dan penghimpunan DPK pada tahun depan masih akan berakselerasi. Namun, dengan catatan, tidak ada kejadian yang dapat memengaruhi perekonomian Indonesia.
“Penyaluran kredit masih akan terus menunjukkan pertumbuhan yang berarti untuk tahun 2023, dengan catatan kalau tidak ada pemburukan luar biasa, misalnya, dari kondisi geopolitik karena sekarang pertumbuhan kredit secara tahunan sudah mencapai 12 persen,” pungkasnya.
Secara terpisah, Analis Mirae Asset Sekuritas Handiman Soetoyo dalam riset yang dipublikasikan pada Senin (5/12), memproyeksikan pertumbuhan kredit pada 2023 mencapai 12 persen atau lebih tinggi dari perkiraan Bank Indonesia (BI) yang sebesar 10 – 12 persen.
“Kami percaya bahwa meskipun banyak tantangan, pelonggaran pembatasan mobilitas adalah kunci percepatan pemulihan bisnis, yang pada gilirannya akan mendorong permintaan pinjaman,” tutur Handiman.
Dia menambahkan bahwa sektor pertambangan, terutama proyek-proyek terkait hilir nikel bakal meningkatkan pinjaman karena banyak proyek carry over pada tahun depan.
Selain itu, sektor manufaktur yang fokus ke dalam negeri, seperti food and beverages (F&B) juga akan mendorong pertumbuhan kredit di tengah ketahanan konsumsi domestik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel