Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyampaikan bahwa Pekerja Migran Indonesia (PMI) memerlukan perlindungan sosial yang aktif dan efektif, mengingat angka PMI dengan status informal mencapai 42 persen.
Ketua DJSN Andie Megantara memaparkan berdasarkan rata-rata penempatan PMI pada periode 2019 – Oktober 2022 di negara asing, tercatat penempatan PMI masih didominasi di Hongkong, Taiwan, dan Malaysia yang masing-masing tercatat 36,99 persen, 25,89 persen, dan 19,64 persen. Sementara itu, jenis pekerjaan yang paling mendominasi adalah housemaid sebesar 41 persen dan caregiver sebanyak 18,1 persen.
Adapun, jika merujuk pada data Oktober 2022, PMI berstatus formal mencapai 58 persen, sedangkan PMI berstatus informal mencapai 42 persen. Kemudian, jika dilihat dari gender, mayoritas PMI adalah perempuan dengan persentase mencapai 60 persen, sedangkan sisanya adalah PMI laki-laki sebanyak 40 persen per Oktober 2022.
“Mayoritas PMI adalah perempuan dan sebagian besar berstatus informal. Oleh karena itu, perlu perlindungan sosial yang provent,” kata Andie dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Direktur Utama BPJS Kesehatan, dan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pengurus Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Rabu (7/12/2022).
Sementara itu, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, kepesertaan PMI mengalami penurunan sampai dengan 20,27 persen jika dibandingkan dengan kepesertaan PMI sebelum diterbitkannya Inpres Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Berdasarkan pantauan Bisnis, Inpres ini menempatkan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sebagai pihak yang mengendalikan instruksi presiden akan optimalisasi program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Sedangkan kementerian dan lembaga lain memberikan dukungan.
Adapun, sampai saat ini, Andie mengungkapkan bahwa pada kenyataannya masih belum tersedia akses layanan peserta di luar negeri.
“Berdasarkan hasil Survei DJSN menemukan bahwa mayoritas PMI dengan persentase mencapai 66,2 persen ingin mengikuti program JHT [Jaminan Hari Tua]. Namun, terkendala pada akses informasi dan sosialisasi, akses pendaftaran, dan kanal pembayaran,” ungkapnya.
Selain itu, penempatan PMI juga masih didominasi oleh skema penempatan perusahaan (P to P) yang memiliki potensi untuk optimalisasi program jaminan sosial. Berdasarkan skema penempatan PMI periode 2019 - 2021, P3MI (P to P) menjangkau 83,80 persen peserta.
“Untuk kepesertaan ini justru menurun setelah Inpres Nomor 2 Tahun 2021. Oleh karena itu, perlu kebijakan afirmasi baik dari K/L terkait pelaksanaan inpres maupun juga bagi BPJS,” ujarnya.
ANTISIPASI USIA PENSIUN
Menurut Andie, penerapan Program JHT PMI perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi populasi menua dan persiapan kebutuhan keuangan pada saat mencapai usia pensiun. Sejauh ini belum diterapkan karena belum tersedia regulasinya.
Berdasarkan hasil Rapid Survei DJSN 2021, terdapat 3 alasan utama PMI tidak mendapatkan manfaat jaminan sosial.
Pertama, masih kurangnya informasi yang diperoleh peserta, termasuk hak dan kewajiban. Dengan kata lain, sosialisasi terkait manfaat jaminan sosial juga masih kurang. Kedua, isu pelayanan administratif atau akses pelayanan yang masih terbatas. Ketiga, administratif atau sistematis secara elektronik belum tersedia secara optimal.
“Hal ini dapat berpotensi akan mengurangi minat PMI atau calon PMI untuk mengikuti program jaminan sosial,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel