Bisnis.com, JAKARTA - Setelah disepakati pada pekan lalu, DPR RI dikabarkan akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau omnimbus law keuangan pada hari ini, Selasa (13/12/2022).
Sebagaimana diketahui, pemerintah bersama Komisi XI DPR telah menyepakati dan menandatangani naskah RUU PPSK pada Kamis (8/12/2022) yang kemudian akan dilanjutkan dalam tahap rapat paripurna DPR RI.
Berdasarkan jadwal yang dikutip dari laman resmi DPR pada Senin (12/12/2022), rapat paripurna DPR RI ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 akan dijadwalkan pada Selasa (13/12/2022) pukul 10.00 WIB.
Meski demikian, jadwal pengesahan RUU PPSK sedikit meleset jika dibandingkan dengan target DPR. Diberitakan sebelumnya, anggota Komisi XI Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Muhammad Misbakhun berharap agar omnibus law keuangan yang diinisiatifkan DPR ini dapat rampung dan bisa diparipurnakan pada 12 Desember 2022.
“Mudah-mudahan secepatnya ada rapat Bamus, karena kita kepenginnya Senin atau Selasa [pekan depan] minimalnya sudah bisa di paripurnakan [RUU PPSK],” kata Misbakhun saat ditemui di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (8/12/2022) malam.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku bahagia dan bersyukur karena omnibus law baru, yakni Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU PPSK akan segera terbit. Dalam akun Instagramnya, @smindrawati, Sri Mulyani mengunggah momen ketika dirinya selaku perwakilan pemerintah menyaksikan persetujuan RUU PPSK oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU itu akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
“Hadir mewakili pemerintah bersama Pak Bahlil Lahadalia Menteri Investasi, serta perwakilan dari Kemenkumham dan Kemenkop UKM, saya sampaikan apresiasi pemerintah kepada DPR atas inisiatifnya mengajukan RUU yang sangat penting ini,” tulis Sri Mulyani pada Jumat (9/12/2022).
Meski didukung oleh eksekutif dan legislatif, suara kritis tentang RUU PPSK terus bermunculan. Terbaru, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia periode 2015—2018 Tito Sulistio buka suara mengenai RUU PPSK yang akan disahkan oleh DPR RI.
Menurut Tito, RUU PPSK memberi suatu lembaga atau bahkan pejabat kekuasaan yang absolut mulai dari membuat aturan di Industri, memberi izin beroperasi di Industri, mengawasi industri, menyidik Industri, menuntut dan menghukum pelaku di industri. Kekuasaan ini dinilai dilakukan tanpa adanya pengawasan berkala sehari-hari dalam kegiatan.
“[RUU PPSK] Dibuat dengan asumsi bahwa semua pelaku pasar keuangan di Indonesia mempunyai itikad tidak baik dan literasi yang terus rendah tentang pasar keuangan secara menyeluruh,” ujar Tito dalam keterangan yang diterima Bisnis, Senin (12/12/2022).
Selain itu, pasal dan aturan yang tertera dalam RUU PPSK dinilai terlalu terperinci dan lebih baik diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan pelaksanaan. Hal ini membuat RUU PPSK masih harus diinterpretasikan dan menjadi bahan perdebatan.
Tito menyebut RUU PPSK belum menyatukan semua fungsi keuangan industri dalam suatu lembaga. Selain itu, RUU PPSK juga belum menjadikan dan memberikan kuasa penuh kepada Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dalam situasi kritis. Selain itu, RUU PPSK dinilai masih terdapat inkonsistensi dalam batang tubuhnya dan dapat membebani para pelaku pasar. RUU PPSK juga disebut belum sepenuhnya memberikan perlindungan kepada para pemodal.
Burden Sharing
Berdasarkan catatan Bisnis, salah satu pasal RUU PPKS yang menjadi sorotan adalah terkait pembagian beban atau burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia. BI tetap dapat melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana untuk mendukung pembiayaan APBN atau yang dikenal dengan skema burden sharing untuk selama-lamanya.
Hal ini tertuang dalam draft dokumen Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau omnibus law keuangan terbaru yang diterima Bisnis pada Kamis (8/12/2022). Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 RUU PPSK, disisipkan dua pasal yaitu Pasal 36A dan Pasal 36B.
"Pasal 36A menyebutkan bahwa dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, BI berwenang untuk membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional," tulis draf RUU PPSK.
Selain itu, BI berwenang membeli/repo SBN yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan bank. BI juga berwenang untuk memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo Surat Berharga Negara yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan.
Pada ayat (2) Pasal 36A beleid tersebut, disebutkan kondisi krisis yang sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh presiden dan ayat (3) menyebutkan pembelian SBN berjangka panjang di pasar perdana dilakukan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Skema dan mekanisme pembelian SBN di pasar perdana sebagaimana pun ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Selanjutnya, ketentuan mengenai pelaksanaan penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai informasi, berdasarkan UU No. 2/2020, burden sharing BI dan Pemerintah hanya berlaku hingga 2022. Atinya, pada 2023, BI seharusnya tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan pembelian SBN di pasar perdana.
Pengawasan Aset Kripto
Draf RUU PPSK yang akan disepakati juga memuat penambahan tugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang salah satunya mengawasi aset kripto hingga bursa karbon. Berdasarkan draf RUU PPSK terbaru versi 5.0 yang diterbitkan pada Kamis (8/12/2022), Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon akan memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, keuangan derivatif dan bursa karbon.
Adapun, jika dibandingkan dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tugas dari Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal hanya mengawasi kegiatan di pasar modal. Bukan hanya bursa karbon, OJK juga akan mengawasi aset kripto. Tugas dalam pengawasan ini merupakan susunan baru yang akan diterima OJK.
Pasalnya, di dalam UU Nomor 21 Tahun 2011, OJK sama sekali tidak memiliki tugas untuk mengawasi aset kripto. Sementara itu, di dalam draf RUU PPSK, susunan OJK akan ditambahkan menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto merangkap anggota.
Di dalam draf RUU PPSK pada Bab XVI Pasal 213, ruang lingkup dari Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) salah satunya terdiri dari aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto.
“Aset keuangan digital merupakan aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto,” jelas RUU PPSK, seperti dikutip pada Jumat (9/11/2022).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel