Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan sinyal tetap akan menaikkan suku bunga meski tidak ugal-ugalan seperti Amerika. Namun, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri berpendapat sebaliknya.
Perry mengatakan kebijakan yang ditempuh bank sentral pada tahun depan akan lebih bersinergi dengan pemangku fiskal, Kementerian Keuangan, sehingga dapat melahirkan stabilitas.
Untuk memastikan inflasi inti pada semester I/2023 dapat tercapai 4 persen, ungkap Perry, perlu ada sinergi, yakni, pemerintah melakukan subsidi untuk menjaga gejolak harga, sedangkan bank sentral melalui suku bunga.
“Dengan adanya subsidi dari Bu Menteri [Keuangan] tentu saja tekanan inflasi terjaga, kami tidak perlu menaikkan suku bunga berlebihan, agresif seperti AS atau negara lain, kami secara terukur. Pastikan inflasi inti kembali di bawah 4 persen pada semester I/2023,” ujarnya dalam acara Outlook Ekonomi Indonesia 2023, Selasa (22/12/2022).
Dia memastikan bahwa bank sentral tetap akan menjaga nilai tukar rupiah, guna menjaga lonjakan inflasi.
“Pada masa turbulensi ini kami lakukan intervensi, kami stabilisasi. Namun, tahun depan dengan turbulensi yang mereda, kami yakin rupiah akan kembali ke fundamentalnya.”
Dari sisi makro prudensial, tambahnya, akan dijaga tetap longgar dengan menyediakan kebutuhan likuiditas bagi perbankan.
“Kemudian seluruh pengaturan makro kami longgarkan, DP 0 persen kami perpanjang sampai akhir tahun depan. Bahkan kami akan memberikan insentif lagi bagi perbankan yang menyalurkan kredit kepada sektor prioritas, UMKM, KUR, kepada pangan."
Chatib Basri Menyebutkan Suku Bunga Tak Perlu Naik Lagi
Sementara itu, Chatib Basri menilai, saat ini bank sentral tidak perlu menaikkan lagi suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi dari kenaikan harga pangan hingga energi dunia.
Pasalnya, inflasi inti pada September 2022 sudah mulai turun. Begitu juga apabila dilihat tekanan inflasi dari gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menurut Chatib, tidak terlalu besar.
"Mungkin kalau lihat dari tekanan terhadap exchange rate, depresiasi kita tidak terlalu besar. Jadi sebetulnya kebutuhan menaikkan interest rate [suku bunga] ada ruang, tetapi not necesseraly [tidak diperlukan] itu cukup signifikan," ujarnya.
Di sisi lain, dampak terhadap perang Rusia-Ukraina terhadap energi Indonesia tidak besar, karena yang menjadi soal adalah embargo gas, dan membuat harganya melejit. Indonesia justru terkena dampak dari kenaikan harga batu bara dunia.
Satu sisi, pangsa ekspor Indonesia lebih kecil dampaknya terhadap PDB bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura 180 persen dan Indonesia 25 persen.
"Dengan kondisi itu, efek dari negative spillover sangat limited bagi kita. Untuk mengatasinya, harus pasar domestik. Kuncinya kan tiga, fiskal, moneter, kemudian stabilitas sektor keuangan," tuturnya.
Namun, Chatib memahami langkah Bank Indonesia untuk tetap menaikkan suku bunga acuan. Hal itu agar menjaga rentang dengan suku bunga acuan bank sentral Amerika, The Fed, tidak terlalu jauh.
"Mau tidak mau interest rate ini harus tetap naik, karena kan menjaga parity dengan The Fed, kalau enggak itu akan ada pressure pada nilai tukar, karena BI objective function-nya tidak hanya untuk menjaga inflasi, tetapi juga stabilitas dari nilai tukar," tuturnya.
Dia meramalkan ruang kenaikan suku bunga sampai dengan kuartal III/2023. Setelah itu, sambungnya, ada ruang untuk menurunkan suku bunga. "Ada periode di mana kita tahan nafas mungkin tiga kuartal, setelah itu akan turun."
Menurut Chatib, saat BI melakukan pengetatan moneter, harapannya adalah fiskal. Akan tetapi, lanjutnya, ada simalakama di fiskal. Pasalnya defisit akan di jaga di bawah 3 persen, sehingga manuver untuk memacu pertumbuhan ekonomi terbatas.
"Fiskal kita defisitnya kan mau dijaga di bawah 3 persen, maka kuncinya apa? Kalau defisit di bawah 3%, berarti jawabannya adalah belanja yang dikeluarkan itu harus punya impact," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel