Bisnis.com, JAKARTA – Selama setahun perdagangan, saham bank digital seperti PT Bank Jago Tbk. (ARTO) dan PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) amblas. Ini membuat kekayaan pengendalinya, yakni Jerry Ng yang menguasai ARTO dan Chairul Tanjung yang menguasai BBHI ikut merosot.
Berdasarkan data RTI Business, harga saham ARTO pada penutupan akhir tahun perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (30/12/2022) menguat 5,98 persen dan terparkir di level Rp3.720 secara harian. Namun jika dihitung dari awal tahun, harga saham ARTO nyatanya anjlok 76,75 persen (year–to–date/ytd).
Harga saham ARTO sempat mencapai level tertinggi Rp19.000 pada Januari 2022. Kemudian, harga terendah ARTO berada di level Rp3.300 pada Desember 2022.
Sementara, harga saham BBHI turun 1,12 persen pada penutupan perdagangan akhir tahun (30/12/2022) ke level Rp1.765. Harga saham BBHI juga amblas 56,15 persen ytd.
BBHI mencatatkan harga saham tertinggi di level Rp7.300 pada Januari 2022. Kemudian, harga saham terendah pada level Rp1.560 per Oktober 2022.
Penurunan harga saham kedua bank digital itu membuat kekayaan pemiliknya ikut tergerus. Taipan Jerry Ng melalui PT Metamorfosis tercatat memiliki 4,12 miliar saham Bank Jago atau setara 29,8 persen.
Dalam setahun berjalan, nilai saham Metamorfosis di ARTO longsor Rp62,96 triliun, atau dari Rp78,28 triliun saat ARTO mencapai harga saham tertinggi, menjadi Rp15,32 triliun saat harga saham ditutup di perdagangan Jumat (30/12/2022).
Jerry Ng sendiri mengakhiri 2022 dengan menduduki peringkat ke-35 orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Kekayaannya tahun ini tercatat sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,72 triliun. Angka itu turun dari posisi 2021 ketika Jerry berada di peringkat 12 orang terkaya Indonesia dengan kapital mencapai US$3,2 miliar.
Sementara, Chairul Tanjung melalui PT Mega Corpora menguasai BBHI dengan porsi kepemilikan 60,88 persen dan jumlah saham 13,2 miliar. Nilai saham Mega Corpora di BBHI menguap Rp73,07 triliun, atau dari Rp96,36 triliun pada saat BBHI mencapai harga tertinggi menjadi Rp23,29 triliun saat harga saham BBHI ditutup di perdagangan hari ini (30/12/2022).
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan bahwa jebloknya kinerja saham bank digital seperti ARTO dan BBHI sepanjang 2022 karena harganya yang terlalu mahal atau overvalued. Menurutnya, berdasarkan price to earning ratio (PER) dan price to book value (PBV), ada beberapa emiten bank digital saat ini yang mempunyai rasio di atas rasio rata-rata industri perbankan. "Ini [PBV dan PER] menjadi tertinggi di industri perbankan," katanya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, proyeksi saham bank digital untuk tahun depan juga kurang positif selama emiten bank digital masih lumayan overvalued. "Jadi, masih ada potensi koreksi harga," ungkapnya.
Apalagi, bank digital dihadapkan pada masalah tren suku bunga acuan Bank Indonesia yang tinggi. "Kalau suku bunga naik lagi, menurut saya ini menjadi tantangan untuk bank digital karena mereka juga perlu menaikan suku bunga deposito agar bisa bersaing dengan bank konvensional," ujarnya.
Sementara, dengan naiknya suku bunga deposito, bank digital harus meningkatkan beban pembayaran bunga.
Ditambah, bank digital mesti menghadapi persaingan karena pertumbuhan jumlah bank digital baru diperkirakan masih terus berlanjut hingga tahun depan.
Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi mengatakan bahwa bank digital juga menghadapi berbagai tantangan pada 2023. "Ada yang sangat bergantung pada pendanaan berbiaya tinggi [rasio CASA rendah], investasi tinggi untuk infra TI tahap awal, NPL [nonperforming loan] yang lebih fluktuatif dan dengan demikian meningkatkan sensitivitas penilaian terutama selama tekanan kuat pada penjualan saham teknologi," jelasnya dalam riset pekan lalu (24/12/2022).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel