Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan cadangan devisa Indonesia akan mencapai sekitar US$135 miliar - US$140 miliar pada akhir 2023.
“Kami mengantisipasi bahwa neraca transaksi berjalan akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola sekitar 1,10 persen dari PDB pada 2023 dari perkiraan surplus sebesar 1,05 persen dari PDB pada 2022,” kata Faisal dalam keterangan resmi, Jumat (6/1/2023).
Pertumbuhan ekspor diperkirakan melambat lantaran menurunnya harga komoditas terutama batu bara dan IHK. Ini didorong oleh permintaan global yang melemah di tengah meningkatnya risiko perlambatan ekonomi global.
Meski diramal menyusut, Faisal mengatakan surplus neraca perdagangan bisa bertahan lebih lama karena penurunan harga komoditas lebih bertahap.
Sementara itu, pertumbuhan impor diprediksi akan lebih tinggi dari ekspor pada tahun ini, lantaran pihaknya melihat permintaan domestik akan terus menguat, menyusul pencabutan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir 2022 dan keputusan pemerintah untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional.
Kendati demikian, pertumbuhan impor pada tahun ini terlihat melemah dari pertumbuhan tahun sebelumnya karena harga minyak yang lebih rendah dan antisipasi penurunan ekspor. Sebagian bahan baku untuk memproduksi barang ekspor diperoleh dari impor.
Terkait neraca keuangan, Faisal melihat neraca keuangan akan menghadapi sejumlah tantangan namun potensinya tetap terlihat.
Beberapa tantangan tersebut antara lain meningkatnya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global yang bisa memicu sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, karena investor cenderung beralih ke aset safe-haven. Lalu, pembukaan kembali ekonomi China yang juga bisa menarik investor untuk mencari penyeimbangan portofolio di Asia.
Meski demikian, kebijakan pemerintah untuk terus melakukan hilirisasi sumber daya alam dinilai bisa menarik lebih banyak aliran investasi langsung ke Indonesia.
Upaya mempertahankan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE) juga dinilai bisa menghambat penempatan aset di luar negeri.
“Meskipun sebagian besar bank sentral utama cenderung mempertahankan suku bunga kebijakan global ‘lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama’ untuk menjinakkan inflasi, kami melihat kenaikan suku bunga akan mencapai puncaknya pada akhir semester I/2023,” jelasnya.
Hal tersebut, lanjut dia, bisa membatasi risiko arus keluar portofolio dan memberikan potensi arus masuk di semester II/2023, terutama untuk pasar obligasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel