Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan baru terkait Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) pada awal tahun ini. Aturan itu dibuat sebagai dorongan agar BPRS semakin cepat berkonsolidasi.
Peraturan OJK (POJK) Nomor 26 Tahun 2022 tentang BPRS atau POJK BPRS baru itu merupakan penyempurnaan dari POJK Nomor 3/POJK.03/2016 tentang BPRS. POJK BPRS baru itu terdiri dari 13 BAB dan 156 pasal serta dilengkapi dengan lampiran yang berisi mengenai ketentuan teknis pelaksanaan.
Terdapat berbagai penyesuaian dalam POJK BPRS baru itu, seperti mengenai pendirian BPRS baru. OJK mengatur mengenai zona pendirian BPRS hingga penyesuaian persyaratan modal disetor.
Untuk zona pendirian, OJK membaginya ke dalam tiga zona. Kemudian, kewajiban modal yang disetor bagi BPRS dibagi berdasarkan tiga zona tersebut. Untuk zona 1 yakni BPRS di provinsi Pulau Jawa dan Bali diwajibkan memiliki modal yang disetor Rp75 miliar. Nilainya naik dibandingkan POJK BPRS sebelumnya yang mencapai Rp12 miliar.
Kemudian, zona 2 yakni BPRS di provinsi Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, serta Nusa Tenggara Barat diwajibkan memiliki modal yang disetor Rp35 miliar. Nilainya naik dibandingkan POJK BPRS sebelumnya Rp7 miliar.
Lalu, zona 3 yakni BPRS di Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, di provinsi Pulau Papua, serta Nusa Tenggara Timur wajib memiliki modal disetor Rp 15 miliar. Nilainya naik dibandingkan POJK BPRS sebelumnya yang hanya mencapai Rp5 miliar.
"Penyesuaian kewenangan OJK untuk menetapkan modal disetor yang lebih tinggi berdasarkan pertimbangan tertentu," kata OJK dalam keterangan tertulis pada Senin (9/1/2023).
OJK juga melakukan penyesuaian terkait dengan percepatan jangka waktu pemberian persetujuan prinsip dan izin usaha, penambahan penilaian terhadap kinerja keuangan, serta pemenuhan ketentuan lembaga jasa keuangan lain yang dimiliki oleh calon pemegang saham pengendali BPRS.
Selain itu, terdapat penambahan pengaturan terkait kepemilikan, permodalan, kepengurusan dan kegiatan usaha BPRS dalam rangka penguatan kelembagaan. OJK juga mengatur mengenai digitalisasi pelaporan BPRS, harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait, serta penyesuaian ketentuan lainnya.
OJK menyebutkan bahwa POJK BPRS baru itu dibuat dengan menekankan pada penguatan kelembagaan untuk mendukung program konsolidasi industri perbankan syariah. "Menciptakan proses perizinan BPRS yang lebih efektif dan efisien serta menghadirkan BPRS yang lebih tertata dan kuat," kata OJK.
POJK BPRS baru juga diharapkan dapat mewujudkan peningkatan daya saing dan kontribusi BPRS bagi perekonomian di daerah dan industri perbankan nasional.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan bahwa OJK akan semakin gencar mendorong agar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPRS berkonsolidasi tahun ini.
“Kita dengan asosiasi akselerasikan agar percepat konsolidasi BPR. Kita dorong merger agar individu maupun perusahaan hanya memiliki atau jadi pemegang saham pengendali di satu BPR saja,” ujar Dian dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK pada pekan lalu (2/1/2023).
Dian mengatakan bahwa BPR dan BPRS merupakan lembaga jasa keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama masyarakat kecil serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, saat ini keberadaannya kurang efisien. Berdasarkan data OJK, terdapat 1.612 BPR dan BPRS yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa pemilik BPR baik individu maupun perusahaan juga diketahui bisa memiliki hingga 10 BPR. “Jadi, penanangannya butuh langkah-langkah yang tersusun dan sistematis,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel