Bisnis.com, JAKARTA — Kredit berkelanjutan atau sustainable financing mempunyai potensi pasar yang besar di Indonesia. Namun, akan ada tantangan yang mesti dihadapi perbankan untuk menerapkannya di Indonesia.
Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Haryanto T. Budiman mengatakan bahwa investor global saat ini banyak yang sudah fokus pada aspek sustainability atau prinsip environmental, social and governance (ESG) dalam keputusan investasi mereka.
"Penerapan ESG jadi pertimbangan utama mereka dalam berinvestasi, perbankan nasional pun tak luput dari penerapan prinsip tersebut," kata Haryanto dalam CEO Banking Forum pada Senin (9/1/2023).
Di Indonesia, potensi kredit berkelanjutan pun tergolong besar. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim.
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini. Dengan begitu, semakin banyak lagi perusahaan di Indonesia yang akan menerapkan prinsip berkelanjutan.
Namun, Haryanto mengatakan bahwa perbankan menghadapi sejumlah tantangan dalam menggarap kredit berkelanjutan di Indonesia. Menurut, nasabah diwajibkan menaati aturan seperti penyampaian data emisi karbon, penanganan isu-isu sosial yang dihadapi, serta penerapan anti suap dan korupsi.
"Akan tetapi, mengingat Indonesia masih merupakan negara berkembang, tidak serta merta aturan pelaporan yang diterapkan di negara maju itu dapat diterapkan juga di Indonesia secara rigid, apalagi untuk segmen UMKM [usaha mikro, kecil dan menengah] yang jumlah nasabahnya besar," kata Haryanto.
Presiden Komisaris PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) Djohan Emir Setijoso juga mengatakan bahwa penerapan prinsip ESG memang merupakan persoalan kompleks. "Ada tanggung jawab untuk masa depan, tapi perbankan juga punya tanggung jawab terhadap mereka yang menaruh dana," kata Djohan.
Ia memberi contoh, apabila perbankan Indonesia secara total menerapkan prinsip ESG, seperti dengan menghentikan kredit pada industri kendaraan bermotor yang mengandalkan bahan bakar minyak, maka ekonomi akan kena dampaknya. "Akan jelek sekali ke ekonomi," ujarnya.
Maka untuk mengatasi tantangan itu, mesti disiapkan kerangka pembiayaan jangka panjang. "Bank mesti memikirkan bagaimana pembiayaan untuk stasiun pengisian kendaraan listrik, feasibility-nya seperti apa, ini harus dikembangkan terus," kata Djohan.
Sedangkan, Bankir senior yang juga mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan bahwa walau bagaimanapun juga, kredit berkelanjutan merupakan bisnis masa depan bagi perbankan.
"Jadi, perbankan tidak boleh terlambat dalam mempersiapkan resource dalam merespons itu," ujar Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel