Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akan menambah daftar sektor yang harus menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Saat ini, hanya sektor pertambangan serta perkebunan, kehutanan, dan perikanan yang devisanya diwajibkan masuk dalam negeri. Salah satu sektor yang akan ditambahkan, yaitu manufaktur.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan bahwa perluasan cakupan kewajiban DHE bagi sektor manufaktur akan mendorong stabilitas nilai tukar rupiah sejalan dengan terjaganya supply dan demand valas di dalam negeri.
“Dengan aturan ini, likuiditas valas di perekonomian akan cukup ample sehingga stabilitas nilai tukar dapat terjaga, terutama ketika terjadi peningkatan permintaan Dolar AS secara global,” katanya kepada Bisnis, Kamis (12/1/2023).
Untuk bisa berjalan efektif, Joshua menilai aturan DHE ini nantinya harus mendapat dukungan dari Bank Indonesia (BI) yang berencana melakukan operasi moneter valas dengan menawarkan imbal hasil yang lebih menarik bagi para eksportir.
Sebagaimana diketahui, BI pada Desember 2022 menerbitkan instrumen operasi moneter valas yang baru untuk mendorong penempatan DHE khususnya SDA di dalam negeri.
Instrumen operasi moneter valas memberikan potensi bagi perbankan untuk menawarkan imbal hasil yang kompetitif, yang disertai juga dengan pemberian insentif kepada bank, tujuannya untuk memperkuat stabilisasi, termasuk stabilitas nilai tukar rupiah dan pemulihan ekonomi nasional.
Skemanya, jika suku bunga yang ditawarkan di luar negeri sebesar 3,7 persen, BI akan melakukan lelang dengan menawarkan term deposit valas (TDV) dengan suku bunga pada kisaran 3,75 hingga 4 persen, dengan mekanisme yang transparan, kompetitif, dan terbuka bagi seluruh bank dan eksportir.
“Bila kedua regulasi tersebut dapat diimplementasikan, maka para pelaku ekspor juga mendapatkan insentif lebih untuk menempatkan dananya di dalam negeri. Dukungan BI melalui aturan tersebut juga dapat mendorong keberlanjutan insentif bagi para eksportir jangka panjang,” jelas Josua.
Pada kesempatan berbeda, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan bahwa penambahan sektor yang diwajibkan menempatkan DHE di dalam negeri akan cukup berdampak dalam mendukung ketersediaan cadangan devisa di dalam negeri yang kemudian akan mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah.
Apalagi, sebelumnya BI telah menerbitkan instrumen operasi moneter valas yang menurutnya dapat berkontribusi signifikan dalam menarik DHE ke dalam negeri saat ini dan untuk beberapa waktu ke depan.
Hal ini tercermin dari cadangan devisa yang meningkat pada akhir 2022 sejak pemerintah mulai menggalakkan untuk menarik DHE untuk disimpan lebih lama di dalam negeri.
Namun demikian, dia menambahkan kedua kebijakan ini juga masih perlu didukung oleh kebijakan dari otoritas lainnya, misalnya dari Lembaga Penjamin Simpanan dengan menaikkan tingkat suku bunga penjaminan simpanan valas.
“Ini merupakan bentuk sinergi antara BI dan pemerintah. Saya rasa dampaknya juga akan semakin signifikan apabila didukung oleh berbagai kebijakan lain, seperti LPS untuk mempertimbangkan menaikkan suku bunga penjaminan simpanan valas,” katanya.
Cadangan Devisa
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa tentunya dengan revisi PP No. 1/2019 akan mengikat para pelaku eksportir menempatkan DHE di dalam negeri.
Di satu sisi, menurutnya revisi aturan ini akan mendukung cadangan devisa dalam jangka waktu yang lebih lama karena dengan ketentuan yang baru, hasil ekspor harus disimpan dalam jangka waktu lebih lama dibandingkan ketentuan yang sebelumnya.
Di sisi lain, menurutnya aturan baru tersebut belum cukup efektif jika dijadikan sebagai amunisi untuk mengintervensi pasar valas dalam konteks menstabilkan nilai tukar rupiah. Pasalnya, pergerakan atau stabilitas nilai tukar juga banyak dipengaruhi oleh pergerakan di pasar keuangan.
“Sehingga ketika gejolak pasar keuangan relatif belum mereda, volatilitas nilai tukar rupiah masih berpotensi kita temui meskipun kebijakan DHE sudah diubah,” kata dia.
Jika tujuan utama pemerintah adalah menstabilkan rupiah, maka menurut Yusuf revisi aturan DHE perlu dikombinasikan dengan kebijakan lain, seperti misalnya Tobin Tax, yaitu pajak yang dikenakan pada aliran dana, terutama di pasar keuangan yang bergerak relatif cepat.
Dalam keterangan persnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa kinerja ekspor Indonesia yang positif selama ini belum diikuti dengan peningkatan devisa di dalam negeri.
Hal ini tercermin dari cadangan devisa Indonesia yang terkuras hingga US$7,7 miliar sepanjang 2022, padahal di sisi lain, surplus neraca perdagangan yang didukung tingginya kinerja ekspor telah mencatatkan surplus sebesar US$50,59 miliar hingga November 2022.
“Oleh karena itu, Bapak Presiden [Jokowi] meminta PP No.1/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor itu untuk diperbaiki,” kata Airlangga, Rabu (11/1/2023).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel