Bisnis.com, JAKARTA - Industri reasuransi masih menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi dan perubahan lanskap risiko pada 2023. Penyesuaian produk dan premi pun menjadi keniscayaan.
Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) (Indonesia Re) Delil Khairat mengungkap fenomena hardening market masih menjadi tantangan bagi industri asuransi dan reasuransi global dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Indonesia.
Sebagai informasi, hardening market atau hard market merupakan terminologi yang umum digunakan di industri asuransi dan reasuransi ketika sulit untuk mendapatkan cover atau back-up.
Situasi ini tergambar lewat terjadinya tiga indikator, yakni harga atau premi produk yang meningkat, terms and condition diperketat, dan kapasitas pengelolaan risiko mulai berkurang.
"Harapannya, industri asuransi dan reasuransi segera kembali menuju kondisi soft market, namun tetap dengan kinerja yang lebih baik dan prudent," ungkapnya dalam siaran pers, Senin (6/2/2022).
Namun, Delil menegaskan hardening market merupakan mekanisme industri asuransi dan reasuransi untuk mengoreksi kondisi, sehingga menghasilkan pasar yang lebih baik atau menuju kondisi soft market. Kedua kondisi merupakan siklus umum dalam industri asuransi dan reasuransi.
Menghadapi hardening market yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia Re mendorong perbaikan portofolio bisnis dengan menekankan pada sejumlah aspek, terutama treaty balance, pricing, dan combined ratio.
Dalam renewal treaty, Indonesia Re melakukan penyesuaian tarif atau pricing yang hampir terjadi pada seluruh mitra asuransi. Selain itu, Indonesia Re juga menghapus atau merestrukturisasi program-program treaty yang jarang digunakan atau tidak terpakai oleh mitra.
"Penyesuaian pricing tidak dapat terelakkan yang dihadapi oleh banyak cedants [mitra perusahaan asuransi]," jelas Delil.
Setelah melakukan perubahan signifikan pada renewal treaty per Januari 2023, Delil menjelaskan Indonesia Re juga telah menyiapkan langkah-langkah berikutnya untuk mendorong perubahan di industri.
Managing Director & Head of Property & Casualty South East Asia Munich Re Surbhi Goel menekankan bahwa kondisi perekonomian dan lanskap risiko pada 2023 ini bukan hanya menghadirkan tantangan, namun juga peluang.
Pelaku industri asuransi dan reasuransi bisa memperkuat kolaborasi dalam pengelolaan data, untuk mengantisipasi risiko dan melihat peluang baru di pasar.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Surbhi mengatakan pelaku industri reasuransi dan asuransi perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian itu harus dilakukan terkait dengan harga, sekaligus mencari celah pasar baru yang potensial bagi bisnis asuransi dan reasuransi.
“Penyesuaian harus dilakukan pada penetapan harga pasar primer, dan langkah-langkah diambil untuk meningkatkan portofolio,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Client Manager, Team Lead for P&C Client Markets Indonesia and India Sub Swiss Re, Aisyah Fuad, menyebutkan beberapa aspek yang menjadi tantangan utama bagi pasar asuransi dan reasuransi.
Menurutnya, tren kenaikan suku bunga dapat memberikan kelegaan bagi industri dalam memerangi inflasi dan untuk meningkatkan hasil investasi. Namun di sisi lain, hal itu dapat meningkatkan kerentanan keuangan.
"Inflasi biaya asuransi berdampak pada profitabilitas karena bahan dan biaya tenaga kerja terus menjadi tinggi dan serapan lebih tinggi dari pertanggungan gangguan bisnis," kata Aisyah.
Faktor lain yang dihadapi industri, jelas dia, adalah perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi dan intensitas bahaya sekunder (secondary perils) secara global, di mana hal ini dapat menambah biaya ekonomi dan klaim bencana alam.
Dengan kondisi tersebut, Aisyah mengatakan Swiss Re melihat perlunya manajemen kapital dan risiko yang kuat untuk memitigasi tantangan yang akan dihadapi industri.
Namun, pengelolaan klaim dan pertimbangan yang cermat terhadap lini bisnis yang paling rentan terhadap inflasi dan risiko kredit dinilai menjadi keharusan.
Di samping itu, Aisyah menilai pelaku industri asuransi dan reasuransi perlu bekerja sama untuk mengakumulasikan data untuk memitigasi risiko di industri.
"Kerja sama industri untuk pengumpulan dan pencatatan data dengan praktik terbaik, mempraktikkan informasi lokasi risiko yang tepat, dan meta data risiko lainnya yang menyoroti kerentanan risiko," tegasnya.
Di sisi lain, dia mengakui bahwa di tengah kondisi ini masih ada peluang untuk asuransi dan reasuransi. Potensi itu hadir dalam program transisi energi yang terus dipacu secara global.
"Transisi energi dan peningkatan konektivitas digital untuk menjangkau lebih banyak pelanggan," ungkap Aisyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel