Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti serangan digital pada sektor jasa keuangan pada 2022. Menurut Checkpoint Research 2022, sektor jasa keuangan mendapatkan 1.131 kali serangan siber setiap minggu.
Ketua Dewan Audit OJK Sophia Wattimena pun mengimbau agar pelaku usaha di sektor jasa keuangan memperkuat sistem keamanan teknologi informasi (IT) guna memitigasi risiko kejahatan siber.
Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi pun mengatakan OJK seharusnya melakukan sesuatu yang lebih, bukan hanya sekedar mengingatkan.
“Tetapi juga melakukan proses audit keamanan sistem dari masing-masing industri keuangan termasuk perbankan yang ada di Indonesia. Agar benar-benar memberikan trust [kepercayaan] kepada masyarakat terhadap sistem tersebut,” kata Heru kepada Bisnis, Selasa (7/2/2023).
Heru menyebutkan apabila ada informasi misalnya saja bank mana datanya bocor, harus segera dilakukan proses penyelidikan. Menurutnya dari proses penyelidikan tersebut masyarakat dapat mengetahui informasi yang tersebar benar atau tidak.
“Kita berharap dapat tahu data apa saja yang bocor agar kemudian masyarakat mengetahui apa yang harus dilakukan seperti mengubah pin dan mengubah password transaksi,” katanya.
Tidak hanya itu, persoalan keamanan digital khususnya terkait layanan jasa keuangan dan perbankan menurut Heru merupakan tanggung jawab bersama. OJK lebih lanjut harus merangkul semua pihak untuk kemudian bersama-sama menangkal segala potensi kejahatan yang muncul.
“Jadi mungkin pertama tentu bekerja sama dengan BSSN [Badan Siber dan Sandi Negara], Kominfo [Kementerian Komunikasi dan Informatika], dan Bareskim,” katanya.
Selain itu, Heru menyebutkan OJK juga perlu membentuk satga waspada kejahatan siber, tidak hanya satgas waspada invetasi. Pasalnya kejahatan siber menurutnya tidak dapat diselesaikan sendiri.
“Kalau tidak diselesaikan kejahatan siber ini akan terus ada. Di sektor keuangan ini sangat penting, karena apa? Karena ini ada uang di dalamnya. Kalau dulu kan bank, harus pergi ke bank atau lewat atm. Invetasi juga dulu mungkin koperasi. Kalau sekarang kan serba digital nih,” jelasnya.
Heru juga meminta OJK memberikan efek jera, apabila ada kesalahan di industri keuangan. Selain itu juga memberikan edukasi kepada masyarakat agar tetap aman dalam bertransaksi digital.
“Banyak juga e-wallet dicuri, mungkin orang salah memberikan OTP. Dan yang kemarin ramai aplikasi undangan diklik. Kan banyak masyarakat tidak terliterrasi. Jadi harus bekerja sama, industri keuangan ini kan utamanya trust. Kalau tidak dilindungi membahayakan ekonomi negara ini,” tandasnya.
Menurut data International Monetary Fund (IMF) pada 2020, total kerugian rata-rata tahunan akibat serangan siber di sektor jasa keuangan secara global mencapai sekitar US$100 miliar.
OJK sebelumnya meminta agar pelaku usaha jasa keuangan memitigasi risiko siber, salah satunya dengan memantau atau melakukan monitoring dan memastikan prosedur keamanan teknologi informasi up to date dengan standar terkini. Selain itu, pelaku usaha jasa keuangan juga harus melakukan pembaruan antivirus secara berkala.
Dalam hal penguatan governance, OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) terkait anti fraud di sektor jasa keuangan, antara lain POJK 39/2019 tentang Bank Umum, SEOJK 46/2017 untuk Asuransi, dan POJK 35/2018 untuk Perusahaan Pembiayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel