Bisnis.com, JAKARTA— Gempa bumi yang terjadi di Turki dan Suriah pada Senin (6/2/2023) menjadi salah satu peristiwa paling mematikan abad ini. Laporan Al Jazeera mencatat korban gempa berkekuatan 7,8 magnitudo itu sedikitnya 12.873 jiwa di Turki dan 3.162 di Suriah.
Besarnya jumlah korban, menjadikan gempa Turki menjadi bencana alam mematikan abad ini. Di mana sedikitnya 16.000 jiwa menjadi korban.
Gempa dengan kerugian sangat besar ini juga berdampak pada bisnis asuransi dan reasuransi global ke depan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman mengatakan gempa bumi di Turki akan berdampak pada perubahan tarif reasuransi global.
“Dari aspek asuransi, utamanya asuransi umum dan asuransi syariah, tentunya gempa yang menimpa Turki dan Suriah akan turut berkontribusi terhadap perubahan tarif reasuransi secara global,” kata Erwin saat dihubungi Bisnis, Kamis (9/2/2023).
Namun Erwin mengaku belum mengetahui secara pasti apakah akan berdampak langsung ataupun tidak langsung. Terlebih besarsan kerugiannya masih belum diketahui.
Menurut DataGlobal, perkiraan awal kerugian ekonomi akibat gempa di Turki mencapai US$1 miliar atau Rp15 triliun. Angka kerugian ini kemungkinan akan terus naik seiring luasnya dampak yang terjadi.
Di sisi lain, Erwin menyebutkan ada pelajaran yang dapat diambil dari kejadian tersebut. Terutama soal pentingnya memitigasi risiko finansial akibat bencana alam dengan asuransi.
“Untuk diketahui Indonesia juga merupakan negara yang rawan bencana. Bukan mendoakan yang buruk, tapi risiko serupa bisa saja terjadi menimpa kita di Indonesia,” katanya.
Adapun langkah preventif yang dapat diambil, lanjut Erwin, memiliki bangunan yang tahan gempa. Kedua, untuk perlindungan terhadap aset kekayaan atau harta benda tentu dengan asuransi atau asuransi syariah.
“Asuransi atau asuransi syariah merupakan salah satu jaminan yang bisa di tempuh dan hadir untuk sedikit mengatasi risiko fluktuasi secara keuangan,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Senior Analis Asuransi di Global Data Shabbir Ansari menyebutkan akan memakan waktu bertahun-tahun bagi perusahaan asuransi Turki untuk menyelesaikan kerugian akibat gempa pada 6 Februari lalu. Bahkan nilainya diperkirakan lebih dari dua kali lipat kerugian dari gempa serupa pada 2020.
Belum lagi, inflasi tahunan di Turki naik drastis pada 2022, memuncak pada 86 persen pada Oktober, sementara mata uang Turki kehilangan hampir 30 persen nilainya terhadap dolar AS selama tahun itu.
“Karena perusahaan belum pulih dari dampak gempa 2020, gempa baru-baru ini akan berdampak lebih jauh pada profitabilitas perusahaan asuransi properti. Akibatnya, perusahaan asuransi properti Turki diperkirakan akan mencatatkan kerugian penjaminan emisi pada tahun 2023 dan 2024,” kata Ansari.
Gempa berkekuatan Magnitudo 7,8 sebelumnya terjadi di Turki pada Senin (6/2/2023), diikuti beberapa jam kemudian oleh gempa kedua yang hampir sama kuatnya.
Kejadian tersebut meruntuhkan ribuan bangunan termasuk rumah sakit, sekolah dan blok apartemen. Puluhan ribu orang terluka dan menyebabkan banyak orang kehilangan tempat tinggal di Turki dan Suriah bagian Utara.
Otoritas Turki mengatakan sekitar 13,5 juta orang terkena dampak di wilayah yang membentang sekitar 450 kilometer dari Adana di Barat hingga Diyarbakir di timur, dan 300 kilometer dari Malatya di Utara hingga Hatay di Selatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel