Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah perusahaan asuransi masih menghadapi persoalan permodalan keuangan lantara tidak memenuhi tingkat solvabilitas atau risk-based capital (RBC) yang ditentukan regulator minimal 120 persen.
Berdasarkan catatan Bisnis, setidaknya terdapat beberapa perusahaan asuransi umum maupun asuransi jiwa yang masih berada di bawah ketentuan 120 persen. Untuk asuransi jiwa misalnya, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 unaudited mencatatkan RBC sangat jauh di ambang batas minimum OJK, yakni -1.236,41 persen pada kuartal II/2022.
Ada pula di barisan asuransi umum terpantau Asuransi Pan Pacific memiliki RBC di angka -287 persen pada kuartal IV/2022, Asuransi Purna Artanugraha (Aspan) dengan RBC sebesar -163,9 persen pada kuartal III/2022. Bukan hanya itu, RBC di beberapa perusahaan asuransi umum lainnya juga sempat berada di bawah 120 persen pada 2022, yaitu Asuransi Jasindo, Asuransi Etiqa, dan Asuransi Lindung Upaya.
Lantas, bagaimana cara untuk mempertahankan RBC agar tetap memenuhi ketentuan permodalan OJK?
Pengamat Asuransi & Dosen Program MM-FEB UGM Kapler Marpaung menjelaskan bahwa RBC adalah rasio antara total aset yang diperkenankan dengan total liabilitas yang diakui. Artinya, jumlah aset harus lebih besar dari kewajiban atau minimal 20 persen dari total kewajibannya, sehingga batas tingkat solvabilitas (RBC) ditetapkan menjadi minimal 120 persen.
Kapler menyampaikan terdapat beberapa beberapa strategi untuk mempertahankan tingkat RBC, baik untuk perusahaan asuransi jiwa, asuransi umum, asuransi syariah, hingga asuransi sosial.
Pertama, penyetoran modal. Kapler menyampaikan bahwa modal disetor harus kuat yang besarannya menyesuaikan dengan portofolio bisnisnya atau jenis-jenis risiko yang sejalan dengan bisnis perusahaan asuransi.
Kedua, menurut Kapler, perusahaan asuransi harus disiplin menjalankan prinsip asuransi yang hati-hati atau prudent underwriting.
“Hindari dalam pengambilan keputusan hanya berdasarkan premi yang besar, tetapi harus berdasarkan risk exposure atau expected of claim-nya,” kata Kapler kepada Bisnis, Senin (13/2/2023).
Selain itu, lanjut Kapler, risk-assessment sebelum memutuskan menerima atau menolak permohonan penutupan juga harus dijalankan perusahaan asuransi untuk mempertahankan RBC perusahaan.
Strategi ketiga adalah cash majemen dan manajemen cadangan. Keduanya harus dijalankan dengan disiplin, termasuk kapan harus membayar kewajiban kepada tertanggung.
“Ini harus dikawal oleh suatu komite agar perusahaan dapat mengukur antara liability dan asetnya,” sambungnya.
Keempat, efisien biaya harus dijalankan dengan baik dan disiplin. Kelima, sinergi antar perusahaan di industri perusahaan harus dilakukan. Menurutnya, semua pelaku harus memiliki persepsi yang sama tentang risiko dan investasi.
“Khusus untuk asuransi jiwa, agar investasi atas dana nasabah diinvestasikan pada instrumen investasi yang aman atau pada deposito, obligasi atau pasar uang,” tambahnya.
Adapun strategi terakhir atau keenam adalah peningkatan RBC melalui peningkatan laba dengan pertumbuhan organik.
Sebelumnya, OJK juga mencatat jumlah asuransi bermasalah yang masuk ke dalam pengawasan khusus menyusut dari semula 13 perusahaan kini menjadi 11 perusahaan. Adapun dalam pengawasannya terdiri dari pengawasan khusus dan pengawasan .
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono menuturkan bahwa dalam perkembangan asuransi bermasalah, dari 13 perusahaan tersebut kini ada dua perusahaan yang telah berhasil disehatkan dan kembali masuk ke pengawasan . Sementara itu, ada satu perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya oleh OJK, yaitu PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha Life atau Wanaartha Life.
"Kemudian, ada tambahan satu perusahaan yang masuk ke pengawasan khusus, sehingga secara posisi saat ini pengawasan khusus untuk perusahaan asuransi ada 11 perusahaan,” ungkap Ogi belum lama ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel