OPINI : NIM dan Persaingan Perbankan

Bisnis.com,16 Feb 2023, 06:52 WIB
Penulis: Danu Patria
Ilustrasi bank Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun sempat diramalkan rentan terhadap resesi, outlook atas perekonomian Indonesia ke depan ternyata cukup positif. Hal ini salah satunya terlihat dari performa bank-bank besar di Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan sangat baik selama 2022.

Pertumbuhan ini mencerminkan dunia usaha telah hampir sepenuhnya pulih dan bangkit dari pandemi. Baru-baru ini BRI mengumumkan menghasilkan laba sebesar Rp51,4 triliun sepanjang 2022 atau melesat 67% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Pertumbuhan yang sangat tinggi juga dicatatkan oleh BNI yang keuntungan bersihnya naik 68% menjadi Rp18,3 triliun. Sementara itu meskipun tidak setinggi BRI, Bank Mandiri juga mencatatkan pertumbuhan laba yang solid yaitu sebesar 47% dan mencetak laba Rp41,2 triliun.

BCA menempel ketat catatan Bank Mandiri tersebut dengan menghasilkan keuntungan Rp40,7 triliun pada tahun 2022 atau naik 29,6% year-on-year.

Namun, di balik meroketnya laba bank-bank besar tersebut, Presiden Joko Widodo sempat melontarkan kekhawatiran atas tingginya Net Interest Margin (NIM) industri perbankan di tanah air yang disebutnya merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, karena meskipun NIM yang tinggi menunjukan kemampuan bank yang baik untuk menghasilkan keuntungan dari kegiatan penyaluran dananya, hal tersebut juga dapat memiliki dampak negatif pada perekonomian. NIM yang tinggi berarti debitur memiliki kewajiban membayar bunga pinjaman yang besar, yang bisa menyebabkan terhambatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, regulator tidak bisa secara sepihak memaksa menurunkan NIM perbankan dengan memberikan batas atas/cap bagi suku bunga kredit. Margin suku bunga yang reasonable masih diperlukan untuk menjamin bank dapat dapat tumbuh dan tetap optimal dalam menjalankan fungsi intermediary-nya.

Oleh karena itu perlu ditemukan tingkat keseimbangan nilai NIM yang bersahabat bagi dunia usaha, tetapi juga tetap menjamin profitabilitas perbankan.

Salah satu cara untuk mendapaatkan hal tersebut adalah dengan meningkatkan tingkat persaingan antarbank. Hal ini masih sangat relevan karena walaupun di Indonesia terdapat 100 lebih bank umum yang beroperasi, sebenarnya pasar perbankan Indonesia masih bersifat monopolistik dengan persaingan tidak sempurna.

Dominasi bank-bank besar masih sangat terasa, di mana 4 bank terbesar di Indonesia tersebut di awal menguasai lebih dari 50% total aset perbankan nasional. Iklim pasar seperti ini sebenarnya kurang sehat dan perlu diperbaiki. Tujuannya agar bank-bank dapat lebih berkompetisi secara imbang dalam memberikan pricing kredit yang lebih bersaing kepada nasabah.

Hal ini akan menekan perbankan untuk lebih mencari cara dalam menurunkan cost of credit nya dengan meningkatkan efisiensi operasional bank dan mencari sumber pendanaan yang lebih murah.

Bagi bank-bank besar, efisiensi operasional yang tinggi cukup mudah didapatkan karena biaya operasional bank yang besar dapat disebarkan ke dalam banyak transaksi nasabah.

Sumber dana murah juga lebih mudah didapat karena nasabah penabung telah mendapatkan manfaat dari jaringan yang tersebar dan fasilitas transaksi yang memadai sehingga tidak menuntut tingkat pengembalian dana yang tinggi.

Sebaliknya, bank kecil akan kesulitan untuk meningkatkan efisiensi dan mencari dana murah karena keterbatasan volume usaha dan infrastruktur yang dimilikinya, sehingga akan sulit untuk bersaing dengan bank besar. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kompetisi yang sehat di industri perbankan, upaya-upaya konsolidasi bank-bank kecil seperti yang selama ini diupayakan oleh OJK harus terus didukung oleh semua stakeholder.

Diharapkan jika telah tercipta bank-bank dengan skala usaha besar yang seimbang dan saling bersaing, maka iklim kompetisi industri perbankan akan menjadi lebih baik, yang pada akhirnya dapat menurunkan suku bunga pinjaman bank.

Di sisi lain, usaha-usaha peningkatan kompetisi bank tersebut juga harus dilengkapi dengan peningkatan literasi keuangan masyarakat. Karena apabila sumber pendanaan masyarakat masih terbatas, maka perbankan akan terpaksa mencari sumber pendanaan lain yang lebih mahal, yang mengakibatkan kredit yang disalurkan juga memiliki biaya tinggi.

Dari hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2022 tercatat bahwa indeks literasi keuangan masyarakat masih relatif rendah, yaitu sebesar 49,68%.

Ini menunjukan bahwa sebenarnya masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memanfaatkan lembaga keuangan secara optimal dalam pengelolaan keuangannya. Untuk itu upaya-upaya peningkatan literasi keuangan sesuai dengan Strategi Nasional Literasi Keuangan harus disukseskan pihak-pihak yang terkait.

Strategi digitalisasi layanan perbankan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat dengan masal dengan biaya yang rendah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini